Pembawa Bunga
Ia sering sekali
membawa sebuah keranjang yang berisikan bunga-bunga di dalamnya. Melati, mawar,
kenanga, dan lain sebagainya. Berjalan menyusuri kota-kota besar dan bahkan pedesaan
kecil. Dia bukanlah penjual bunga, apalagi petani bunga. Ia hanya sering
berhenti di suatu tempat, dan memberikan bunga pada seseorang. Ya, hanya memberi
saja, tanpa meminta bayaran. Baju dress pendek putihnya, dan sepatu keds putih
yang ia kenakan, selalu terlihat mencolok diantara kerumunan orang-orang yang
ia lewati. Unik, itulah kesan pertama yang ia timbulkan dari penampilannya.
***
“Kenapa anda
membawa sekeranjang bunga?” tanya seorang wanita muda yang duduk di sampingnya dengan
nada ingin tahu, ketika ia duduk-duduk di bangku taman kota. Sepertinya, ia
seorang wanita karir yang sukses.
“Apa itu sebuah
pertanyaan?” iapun bertanya balik, sambil meletakkan keranjang bunganya di
sampingnya.
“Ya, tentu
saja.”
“Karena aku
menyukainya.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kenapa anda
tidak menjualnya saja?. Bukankah itu akan lebih menguntungkan?”
“Uang bukanlah
seprti bunga.”
“Maksud anda?”
“Lihat
warna-warni cantik mereka. Apik dan membuat hati yang melihatnya menjadi
tentram. Uang bukanlah bunga yang dapat menentramkan.” Jawabnya dengan menatap
kagum pada bunga-bunga yang ada pada keranjangnya.
“Hmmm” wanita
muda yang bertanya padanya itupun menarik nafas. Lalu memandang taman kota yang
asri.
“Ya, anda benar.
Menurut saya, uang bukanlah segalanya.” Lanjut wanita itu. Nada bicaranya
menurun. Sepertinya, ia baru saja mengalami masalah yang begitu berat.
Gadis pembawa
bunga itu menatapnya lekat-lekat. Seakan tahu masalah apa yang di alami oleh
wanita muda itu. Lalu, mengambil sekuntum bunga matahari yang masih segar.
“Saya harus
pergi sekarang.” Kata gadis pembawa bunga itu.
“Oh, silahkan,”
jawab wanita muda itu dengan ramah.
“Saya turut
berduka atas meninggalnya suami anda.”
“Bagaimana anda
tahu tentang suami saya?” Wanita muda itu terlihat terkejut atas perkataan
gadis itu. Namun, gadis itu hanya tersenyum kecil padanya.
“Semoga kita
bisa bertemu kembali.” gadis itu berkata dengan wajah ceria, tanpa menjawab
pertanyaan wanita tersebut. Lalu memberikan setangkai bunga matahari di
tangannya pada wanita muda tersebut.
“Selamat
tinggal.” Katanya, kemudian pergi berlalu. Meninggalkan wanita muda yang
hatinya berkecamuk tanda tanya besar akan dirinya.
Wanita itu
memandang setangkai bunga matahari yang ada di genggamannya. Warna bunga itu
kuning cerah. Terlihat cantik, dan segar. Lalu, iapun tersenyum kecil. Lalu
berdiri dengan setangkai bunga matahari di tangannya.
***
Gadis itu
kembali menyusuri jalan-jalan kota dan desa. Hingga sampailah ia di depan
sebuah toko roti. Penampilan luar toko roti itu terlihat artistik dengan
ukiran-ukiran rumit di atas pintu masuk. Aroma khas roti yang di panggang tercium begitu harum dari luar. Lalu, iapun
masuk ke dalamnya.
Suasana di dalam
toko roti itu terlihat cukup sepi. Hanya ada 3 orang ibu-ibu yang terlihat
memilih-milih roti. Pemilik toko itu terlihat murung di belakang meja kasirnya.
Gadis itupun mendatanginya.
“Saya pesan 3
brownies coklat dan secangkir coklat panas” Katanya pada pemilik toko.
“Oh, ya. mohon
tunggu sebentar. Nanti akan kami antarkan ke meja anda.” Kata pemilik toko
berusaha seramah mungkin. Gadis itupun menuju ke sebuah meja dan menunggu
pesanannya.
Tak lama
kemudian, brownies yang ia pesanpun datang. Dan di antar oleh pemilik tokonya
langsung. Rupanya, pemilik toko roti itu penasaran dengan penampilan dan
keranjang bunga gadis itu.
“Ini pesanan
anda.” Kata pemilik toko dengan ramah sambil menyajikan pesanan brownies dan
coklat panas. Lalu duduk di depan gadis itu sambil mengamatinya. Gadis itu
menyeruput sedikit coklat panasnya.
“Ini enak.” Kata
gadis itu singkat, lalu kembali meminumnya. Namun pemilik toko tak terlalu
menyahuti komentarnya dan tetap mengamati setiap gerak-geriknya.
“Bolehkah saya
bertanya?” tanya gadis itu dengan tiba-tiba.
“Eh, silahkan,”
jawab pemilik toko itu terkejut.
“Apakah anda
membuat roti dengan komposisi yang istimewa?”
“Ya, tentu saja.
Jika tak istimewa, tak mungkin ada pelanggan di toko kami.”
“Lalu, kenapa
toko roti di seberang jalan itu mempunyai peanggan yang lebih banyak di
bandingkan dengan pelanggan anda?. Apakah itu berarti komposisi mereka lebih
istimewa dari resep anda?” pemilik toko itu terdiam, dan terlihat murung
kembali. Lalu menarik nafas panjang.
“Bolehkah saya
bertanya?” tanya pemilik toko padanya.
Gadis itu meletakkan coklat panasnya.
“Ya, silahkan.”
Jawab gadis itu sambil memandang cangkir coklat panasnya.
“Apakah anda
penjual bunga?”
“Apakah saya
terlihat seperti penjual bunga?” gadis itu balik bertanya.
“Ya, tentu saja.”
Sahutnya sambil mencoba membetulkan tempat duduknya.
“Saya bukan
penjual bunga. Tapi saya sangat menyukai bunga-bunga itu.”
“Apa yang
istimewa dari bunga-bunga itu?”
“Mereka selalu
terlihat cantik, walaupun sebenarnya ada sisi buruk yang mereka miliki”
“Boleh saya membungkus 3 brownies ini?” tambah
gadis itu ketika melihat pemilik toko itu terdiam.
“Ya, tentu
saja.” Jawab pemilik toko. Lalu membawa piring brownies itu pergi untuk
membungkusnya.
Tak lama kemudian, pemilik toko itu kembali lagi
sambil membawa kotak berisi brownies
tadi. Dan memberikannya kepada gadis itu.
“Semoga saya
punya kesempatan untuk kesini lagi,” kata gadis itu sambil tersenyum pada
pemilik toko. Lalu, iapun mengambil setangkai bunga anggrek macan kuning dari
keranjang bunganya. Lalu, memberikannya pada pemilik toko.
“Apakah ini
untuk saya?” tanya pemilik toko sambil menerimannya dengan heran.
“Ya, tentu saja.
Sampai jumpa lagi,” setelah itu, iapun
pergi keluar dari toko roti.
Pemilik toko itu
memandang perginya gadis itu. Hingga akhirnya gadis itu menghilang di balik
pintu toko. Anggrek yang berada di tangannya, ia amati. Lalu ia tersenyum
bahagia, dan berlari menuju dapur para karyawannya, mencoba membuat resep-resep
komposisi roti baru yang istimewa.
***
Pagi ini, gadis
itu berada di sebuah emperan toko. Suasana masih dingin dan petang. Terlihat seorang
pria muda yang duduk di depan emperan toko. Bajunya lusuh, dan sepertinya
penampilannya acak-acakan. Gadis itu menghampiri pria tersebut, dan berkata
padanya.
“Bolehkah saya
juga duduk di sini?” tanyanya pada pria itu. Pria itupun hampir meloncat kaget.
“Apakah anda
berbicara pada saya?” tanya pria itu.
“Ya, tentu
saja,”
“Apakah anda
seorang bidadari yang datang subuh-subuh untuk memberi saya keberuntungan?”
“Bukan,”
“Lalu kenapa
anda berpakaian bagus serba putih, dan membawa bunga?” gadis itu tersenyum
kecil mendengar pertanyaan pria tadi.
“Apakah saya
tidak boleh duduk di sini?” iapun malah
bertanya balik.
“Oh, tentu saja.
Tapi, bukankah baju anda terlalu bagus untuk duduk di tempat kotor seperti
ini?”
“Ah, itu tak
masalah untuk saya,”
“Sebentar,
jangan duduk dulu,” kata pria tersebut. Lalu, ia mencari-cari kardus yang cukup
bersih untuk tempat duduk gadis itu.
“Silahkan, ini
yang terbaik yang bisa ku temukan.” Kata pria itu, mempersilahkan duduk. Gadis
itu tersenyum kecil, lalu duduk.
“Saya belum
pernah melihat anda di sini. Apakah anda adalah anak dari salah satu pemilik
toko di sini?” tanya pria itu. Si gadis hanya menggeleng.
Pria gelandangan
itu mengamati lekat-lekat gadis yang duduk di sampingnya. Pandangannya telihat
penasaran dan ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini.
“Apakah anda
penjual bunga?” tanyanya lagi, ketika melihat keranjang yang di bawa gadis itu
penuh dengan bunga.
“Apakah aku
mirip seperti seorang penjual bunga?”
jawab gadis itu dengan senyuman.
“Ya, tentu saja.
Kalau bukan, kenapa anda membawa keranjang berisi bunga-bunga itu?”
“Kalau begitu,
apakah anda adalah seorang pengusaha?” gadis itu balik bertanya.
“Apakah saya
lebih mirip seperti seorang pengusaha?. Dengan pakaian lusuh dan kertas kardus
untuk alas tidur ini?”
“Ya, tentu saja.
Di balik penampilan anda, pasti sebenarnya anda adalah seorang pengusaha yang
sukses dan kaya raya,”
“Itu aneh. Mana
mungkin seorang gelandangan seperti saya bisa menjadi seorang pengusaha kaya?.
Lagipula, perusahaan mana yang mau menerima saya?” jawab pria itu dengan
tersenyum sendiri.
“Anda memiliki
hobi yang unik,”
“Unik?. Maksud
anda?”
“Ya, hobi anda
adalah berkata sebelum bertindak,”
“Ah, anda
menyindir saya,” pria itu tersenyum kecil.
Jam terasa berjalan
dengan cepat. Mentari sedikit demi
sedikit menampakkan sinarnya. Dan tak terasa, sudah banyak orang yang berjalan
di sekitar tempat itu, untuk mengawali kegiatan mereka masing-masing di pagi
hari.
“Saya rasa, saya
harus pergi sekarang,” kata gadis pembawa bunga itu pada pria gelandangan
tersebut.
“Oh ya,
silahkan. Semoga hari anda menyenangkan,” jawab pria itu ramah. Gadis itupun
mengambil sekuntum bunga sepatu, lalu memberikannya pada pria itu.
“Ini untuk anda.
Dan saya sekedar mengingatkan, saya bukan penjual bunga,” sambungnya sambil
tersenyum kecil.
Pria itu hanya
memandanginya dengan aneh dan penuh tanda tanya. Lalu gadis itu berdiri dari
tempatnya duduk, dan bersiap pergi.
“Sampai jumpa,
semoga kita bisa bertemu kembali di lain kesempatan yang lebih baik,” katanya,
lalu beranjak berlalu.
Kini, tinggallah
pria gelandangan itu. Ia memandangi bunga pemberian gadis aneh yang di temuinya
itu. Namun, akhirnya ia tersenyum kecil, dan beranjak berdiri dari tempatnya
duduk. Lalu berjalan menyusuri seluruh sudut-sudut kota, mencari perusahaan dan
toko-toko yang membutuhkan pegawai baru.
***
“Apakah ini
cocok untukku?” tanya seorang gadis bernama Sai, pada temannya Nike.
“Ya, akan sangat
cocok bila kau menurunkan sedikit berat badanmu.” Jawab Nike dengan tersenyum
jahil.
Pagi itu mereka
sedang berbelanja baju. Namun, walaupun sudah berjam-jam mereka mengacak-acak
seluruh isi toko itu, mereka belum menemukan baju yang cocok untuk Sai. Ukuran
tubuhnya selalu menjadi persoalan rumit dalam hal membeli dan memilih baju
baru.
“Apa kau sudah
mempertimbangkan untuk mengikuti fitness?”
tanya Nike.
“Aku sudah
mendaftar, dan akan di mulai pada hari sabtu ini,”
“Berarti itu
sudah menjadi nasibmu,” ledek Nike dengan tawa kecil.
“Rasanya, dunia
ini tak adil.” Sai menggerutu pada nasibnya.
Mereka berduapun
menoleh, ke arah sumber suara itu. Seorang gadis cantik berpakaian dress pendek
putih, dengan sepatu keds putih, sambil membawa keranjang cantik berisi
berbagai macam bunga yang tersusun rapi
di dalamnya.
“Boleh saya
mengajukan pendapat?” tanya gadis misterius itu. Namun, yang di tanya malah
tertegun padanya, karena kedatangannya yang tiba-tiba. Untungnya, Nike langsung
tersadar dari ketertegunannya.
“Oh, tidak
masalah, silahkan,” jawab Nike dengan tersenyum ramah, berusaha menutupi ketertegunannya.
“Ku rasa, yang
paling cocok untukmu adalah ini,” sahut gadis itu sambil menyerahkan sebuah
kaos panjang berwarna biru dengan aksen gambar kucing di depannya.
“Ah, kau
menyindirku,” komentar Sai, ketika melihat baju yang di sodorkan gadis itu.
“Apakah kau tak
suka warna biru?” tanya Nike.
“Bukannya gitu. Masa’ musim panas gini aku
musti pakai baju lengan panjang?”
“Ah, itu Cuma alasanmu
saja. Bukankah sebenarnya kau memang tidak pede
memakai baju lengan panjang?” Sindir Nike.
“Ya udah , sini ku cobain.” Sahut Sai
sambil mengambil baju yang di pegang gadis pembawa bunga itu. Lalu masuk ke
dalam ruang ganti. Tak lama kemudian, Sai keluar dengan memakai baju warna biru
yang ia coba. Wajahnya berbinar-binar.
“Baju ini cocok
sekali denganku. Aku suka.” Sahutnya gembira.
“Tuhkan. Gitu aja tadi bilangnya nggak mau,”
kata Nike.
“Biarin. Lagian, kan bukan kamu yang beri
usulan baju ini,”. Gadis pembawa bunga yang melihat tingkah mereka, hanya
tersenyum kecil.
“Eh, makasih ya, udah mau bantu kami,”
kata Sai dengan gembira. Gadis pembawa bunga itu tersenyum pada Sai.
“Mau nggak kamu jalan-jalan sama kita-kita?”
ajak Nike.
“Ah, dengan
senang hati.” Jawabnya.
Setelah membayar
di kasir, mereka bertigapun pergi dari toko itu, dan menuju ke salah satu kafe
yang ada di sekitar situ. Setelah memesan makanan, merekapun
berbincang-bincang.
“Ah, porsi
makanmu selalu lebih banyak dariku.” Kata Nike ketika melihat porsi makanan
yang di pesan Sai.
“Ah, itu bukan
masalahmu. Aku kan yang memakannya,”
“Percuma ikut
fitnes. Badan kamu tak akan mungkin bisa berubah,” komentar Nike. Namun, Sai
berusaha untuk tak memperhatikan komentar Nike. Dan malah mengalihkan pembicaraan.
“Tau nggak, sebenernya dari tadi kita itu
ngira kamu orang aneh,” kata Sai pada gadis pembawa bunga itu. Walaupun
sebenarnya Nike merasa jengkel tak di hiraukan, akhirnya iapun mengikuti alur
pembicaraan Sai.
“Iya, tapi
ternyata kamu itu seru ya,” tambah Nike. Gadis pembawa bunga itu tersenyum.
“Oh ya, kenapa sih, kamu selalu bawa-bawa
keranjang bunga?. Trus pake’ baju dress plus sepatu keds di musim panas gini.
Kan aneh kalo ngeliatnya,” sambung Nike dengan nada penasaran.
“Bunga itu
pembawa ketenangan. Lihat warna-warnanya. Mereka berwarna-warni tapi tetap satu
panggilan. Yaitu bunga.” Jawab gadis itu.
“Kau penggemar
fanatik bunga ya?” tanya Nike. Yang di tanya hanya tersenyum kecil.
“Eh, di mana
rumahmu?. Apakah di sekitar sini?” tanya Sai.
“Tidak. Rumahku
jauh sekali dari sini. Aku hanya ingin sekedar berjalan-jalan di kota ini,”
jawab gadis itu.
“Eh, ngomong-ngomong, dari tadi kita ngobrol
terus. Tapi belum tahu nama kamu. boleh tahu nggak, nama kamu siapa?” tanya
Nike pada gadis pembawa bunga itu.
“Apakah itu
perlu ku jawab”
“Ya, tentu
saja.”
Namun, gadis
pembawa bunga itupun tak segera menjawab. Ia mengambil sekuntum bunga mawar,
dan memberikannya pada Sai. Lalu berdiri dan menjawab pertanyaan Nike.
“Panggil saja
aku Si Pembawa Bunga. Namun, ingatlah, aku bukan penjual bunga,” kata gadis itu
sambil tersenyum. Lalu pergi meninggalkan Nike dan Sai yang terheran-heran.
Setelah gadis
itu sudah tak terlihat lagi di dalam kafe itu, Nike dan Sai saling berpandangan
dengan heran.
“Gadis itu
aneh,” kata Sai.
“Ya, ia muncul
dengan tiba-tiba. Lalu pergipun juga dengan tiba-tiba,” sahut Nike.
“Kenapa ia
terasa akrab jika bersama kita ya?. Padahal, bukankah kita baru mengenalnya?”
“Ya, aku
merasakan hal yang sama sepertimu. Namun, yang ingin ku tanyakan adalah, kenapa
ia memberimu sekuntum mawar?”
“Akupun juga tak
tahu.” Jawab Sai sambil menatap bunga mawar merah yang ada di tangannya. Namun,
akhirnya ia tersenyum lebar.
“Kurasa, aku
sudah mengetahui jawabannya,” kata Sai. Lalu iapun berdiri.
“Yuk, kita pergi
dari sini,” Ajaknya pada Nike.
“Tapi, makananmu
kan belum habis,” kata Nike dengan heran.
“Ah biarkan
saja, ayo ikut aku,”
“Kemana?”
“Ke panti
asuhan.”
“Hah?”
“Sekarang juga,”
“Sekarang juga?”
Sai hanya
tersenyum melihat respon sahabatnya. Lalu, menarik tangan Nike dengan keras,
dan menuju ke kasir untuk membayar makanannya.
***
Pagi masih
berkabut. Gadis pembawa bunga itu kini berada di taman kota. Dan duduk di salah
satu bangku sambil membaca koran pagi. Di halaman pertama, ada sebuah gambar
seorang pengusaha wanita cantik berjas hitam. Senyum bangga tersungging di
bibirnya. Judul berita di atas fotonya terpampang jelas. ‘TAK BERSUAMI BUKAN
BERARTI TAK BERMIMPI’.
Lalu, di halaman
ke tiga, ada sebuah foto toko roti yang berhiaskan ukiran cantik di atas pintu
masuknya. ‘KEUNTUNGANNYA SEEMPUK ROTI’ judul yang manis.
Di halaman ke
empat, ia melihat sebuah foto seorang lelaki berpenampilan urakan, di depan
sebuah perusaan besar dengan tersenyum penuh kemenangan. ‘PENAMPILAN, BUKAN
ALASAN’ judulnya tercetak tebal dan jelas.
Lalu, iapun
berganti membuka halaman terakhir. Sebuah foto gadis cantik dan seksi
berpakaian dress panjang berwarna merah, dengan membawa sekuntum bunga mawar
merah. Ia sedang berpose dengan anggun. ‘MODEL YANG BERAWAL DARI MAWAR’ judul
beritanya terlihat tertata dengan apik. Serasi dengan isi berita dan gambarnya.
Gadis pembawa
bunga itupun tersenyum kecil membaca berita-berita itu. Lalu, iapun melipat
koran yang ia baca. Ia letakkan dengan rapi di keranjangnya. Bergabung dengan
bunga-bunga cantik yang ia bawa. Iapun berdiri dari tempatnya duduk, dan
berjalan pergi. Kembali melangkahkan kakinya, menyusuri tiap sudut kota yang ia
datangi. Dan, mencari orang-orang yang tepat untuk pemberhentian setiap kuntum
bunga-bunga yang ia bawa.
Selesai**Cuap cuap ringan
Created on 2013
Online Publish @liwato.blogspot.com
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!