Kisah Anak Pesisir
oleh (mifthaakbie)
Aku
hanya memandangnya dari kejauhan. Dia terlihat mengemas perlengkapan melaut dan
menangkap ikan. Jala-jala yang bertumpuk-tumpuk tidak karuan dia tata dengan
teliti.
Aku
menghampirinya sambil menggaruk punggung tangan kiriku yang gatal.
“
Mau pergi?”, tanyaku padanya. Dia terlihat kaget.
“ Iya. Tapi, sepertinya ibu tak mengizinkan!”.
jawabnya.
Tiba-tiba teriakan seorang wanita terdengar
dari dalam.
“ Ali! Jangan
pergi! Ibu takut di rumah sendiri!”.
Akhirnya Ali berlari kedalam rumah.
Akupun mengikutinya.
Seorang wanita setengah baya sedang
duduk-duduk sambil bernyanyidan menyisir rambut. Ialah ibu Ali.
“
Nak, kau jangan pergi.Nanti ibu bisa batuk!”, sahut wanita itu. Alipun
mendekatinya, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang seorang
anak kepada ibunya. Sebenarnya, aku sendiri sangat kagum kepadanya. Dia adalah
sorang anak yang luar biasa. Di saat ibunya sedang sakit jiwa seperti ini, dia
tetap setia. Walaupun terkadang dia menjadi sasaran kemarahan ibunya. Ibunya
begitu sejak ayah ali meninggal dunia. Ibunya tak bisa menerima kenyataan itu,
dan akhirnya menjadi gila. Bicaranyapun terkadang terkesan tak jelas, tiba-tiba
marah dan berteriak-teriak tak karuan. Sungguh hebat Ali. Dia bagaikan mesin yang
telah di progam oleh Allah SWT, untuk patuh dan setia kepada ibunya. Otaknya
bagaikan CPU yang tidak pernah terserang Virus.
Aku hanya bisa memandang haru pemandangan
di depanku ini.
“
Tapi bu, hari ini kita tak punya lauk apapun,” sahut Ali kepada Ibunya.
“
Aku mau kau memancing biskuit coklat di laut nanti.” Jawab ibunya.
Ali hanya tersenyum melihat tingkah iunya.
Dia lalu mengajakku keluar rumah, lalu duduk di balai-balai.
Aku emandang laut dan tersenyum.
“Kenapa
kau ini?. Adakah yang salah dengan laut itu?” tanyanya kepadaku dengan logat
melayu yang kental. Walaupun terkadang dia berusaha mengimbangiku jika
berbicara, tetapi tetap saja logat melayunya sering keluar.
“Kenapa
kau tidak segera berangkat melaut?” tanyaku.
“Aku
masih bingung. Macam mana caranya agar bisa memancing biskuit di laut.”
Jawabnya dengan lugu. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.
“Kenapa
kau harus bingung?. Bukankah kau bisa menangkap ikan di laut, lalu hasilnya kau
belikan biskuit coklat sebanyak mungkin untuk ibumu!.” Kataku.
“Alamaak,
encer pula otak kau. Ah, aku tak jadi heran. Kau kan memang lulusan S2 pula.
Sedangkan aku, cuma lulusan S-Teh. Ha..ha..ha..” kamipun tertawa bersamaan.
“Kalau
begitu, kenapa kau tidak segera berangkat?. Bukankah semakin siang cuaca
semakin panas?, pergilah, aku akan pulang membersikan taman sebelah rumahku!”
kataku kemudian.
Setelah kami berpisah, akupun pulang
kerumah, lalu memotong bonsai yang berada di samping rumahku dengan rapi.
Jam
menunjukkan pukul 10.00 pagi. Tiba-tiba telefonku berdering.
“Hallo,
Assalamu’alaikum!” kata orang di seberang sana, yang tak lain adalah Andra.
“Wa’alaikum
salam. Ada apa Ndra?” tanyaku.
“Ada
kabar mendadak. Sepertinya kau harus pulang hari senin depan!”
“Apa?!.
Memangnya ada apa?”
“Kita
masuk pada hari selasa depan. Jadwal kita di percepat karena di perkirakan para
Dosen kita ada rencana mendadak pada akhir bulan ini!”
“Apa
tidak bisa izin?”
“Ya
jelas tidak bisa. Kitakan harus mengumpulkan tugas. Suah dulu ya!. Kalau ada
kabar lain, akan ku beri tahu...”
“Oh,
baiklah” jawabku. Telefonpun terputus. Aku baru menyadari bahwa Andra belum
mengucapkan salam.
“Huh,
dasar anak aneh!. Selalu terburu-buru!” umpatku dalam hati.
Esok
harinya aku membawa sebuah kamera, sambil menuju rumah Ali. Dia terlihat
sendang menyeret tumpukan atap-atap rumbia. Akupun mendatanginya.
“Hai
Li! Sedang apa kau?. Pagi-pagi sedang sibuk!” sapaku. Dia menghentikan
pekerjaannya sejenak.
“Ibuku
setiap malam selalu mengeluh gerah. Aku tak tegalah jikalau melihatnya.”
Jawabnya.
“Lalu
kenapa kau menyeret benda-benda itu?”
“Kau
lihat atap-atap itu?” tanyanya sambil menunjuk atap rumahnya.
“Ibuku
sangat gerah di dalam. Aku akan ganti atap itu dengan atap rumbia ini. Agar
ibuku tak gerah sangat.” Terusnya.
“Bagaimana
dengan biskuit kemarin?” tanyaku.
“Lihatlah
ke dalam. Ibuku sedang menumpuk-numpuk biskuit itu menjadi sebuah istana.
Agaknya, dia ingin menjadi arsitek”. Kamu tertawa bersamaan.
Beberapa
jam kemudian, atap rumah Ali menjadi sekumpulan daun-daun rumbia yang di tata
rapi. Rumah ini sekarang terlihat indah sekali.
Beberapa
hari kemudian, aku bermaksud memberi tahu Ali bahwa besok aku akan kembali ke
kota asalku, Mojokerto.
“Apakah
ibumu sudah tdak kepanasan?” tanyaku padanya pada saat kami duduk-duduk di
balai-balai depan rumahnya.
“Agaknya
macam itulah. Buktinya beberapa hari ini dia tidak begitu cerewet menyuruhku
ambil kipas.”
“Mmm..
aku akan memberi tahu satu hal padamu” kataku.
“Apakah
itu?”
“Besok
pagi, aku akan kembali ke Mojokerto untuk melanjutkan kuliah.”
“Secepat
itukah? Ah, masa bodoh dengan hal itu. Memanglah hak kau untuk kembali.
Bukankah kau memang harus melanjutkan kuliah S2-mu itu. Kalau aku, mungkin
haruslah menghabiskan S-Teh ku.” Kamipun tertawa.
“Apakah
kau tak melaut?. Sepertinya cuaca hari ini mendukung.”
“Ah,
nanti sajalah. Ibuku sedang tidur. Aku tak tega bangunkan dia. Tunggulah
sejenak sampai dia bangun lagi.” Jawabnya.
“Baiklah.
Kalau begitu, aku pulang dulu ya!” kataku.
Hari
berganti siang. Aku berniat untuk pergi ke rumah Ali. Saat aku akan mengunci
rumah, tiba-tiba seorang bapak-bapak mendatangiku dengan nafas
tersenggal-senggal.
“Kau
temannya Ali bukan?” tanyanya.
“Iya,
ada apa pak?”
“ Rumah Ali
kebakaran!. Cepatlah kesana!”, lalu bapak itu berlari meninggalkanku. Akupun
mengunci pintu dan berlari menuju rumah Ali.
Asap mengepul.
Puluhan orang sedang panik untuk memadamkan api. Terlihat olehku, Ali menangis
dan berteriak-teriak memanggil ibunya. Aku menghampirinya dan mencoba
menenangkannya bersama para penduduk sekitar. Aku mencoba bertanya pada salah
satu warga, tentang kejadian itu.
Ternyata, pada
saat Ali pergi melaut, ibunya merasa kedinginan dan menyalakan api. Lalu,
apipun semakin besar, dan membakar atap rumah Ali yang terbuat dari rumbia. Ibu
Ali masih terjebak di dalam rumah dan sampai saat ini belum di temukan.
Esok paginya,
aku mendatangi rumah salah satu kerabat Ali yang di pakai untuk tahlilan ibu
Ali. Ternyata, aku baru tahu bahwa jenazah ibu Ali sudah di makamkan pada
minggu sore kemarin.
Pada saat aku
datang, Ali sedang duduk di pojok ruang tamu. Puluhan tamu menyalamiku. Lalu,
akupun mendatangi Ali, dan duduk di sampingnya. Sebenarnya maksud kedatanganku
ingin berpamitan. Karena pada jam setengan 10 pagi nanti aku akan pulang ke
Mojokerto.
“Aku turut
berduka cita.” Kataku padanya. Dia tak menjawabku. Dia hanya menoleh dan
memandangku. Lalu berkata,
“Aku tau maksud
kedatangan kau. Selain untuk sekedarmenguapkan ‘turut berduka cita’ bukankah
kau ingin berpamitan untuk kembali ke kota asalmu?”. Akupun mengangguk. Dia
terdiam melamun sesaat, lalu berkata lagi,
“Bolehkah aku
meminta tolong padamu?”
“Apapun itu
insya allah aku akan mewujudkannya”
“Apakah kau akan
berkunjung. Barang sebentar ke sini?”
“Tentu. Aku
pasti akan rindu dengan masakan ikan bakarmu”
“Kalau kau
kesini, tolong bawakan aku biskuit coklat. Bolehkan?”
“Boleh saja,
tapi untuk apakah gerangan?”
“Aku ingin
mengenang ibu, dengan biskuit-biskuit itu” jawabnya. Akupun mengangguk sambil
tersenyum. Lalu, aku berpamitan untuk pulang.
Aku beruntung
bisa kenal seorang anak laki-laki yang sangat setia dengan ibunya.
Ah.. biskuit coklat. Dia selalu
mengenangnya. Dan entah mengapa, kata-katanya itu membuatku berusaha untuk tak
patah semangat, dan mengetahui seberapa pentingnya seorang ibu bagi anaknya.
SELESAI**Notes
First Publish @majalah Kamus ed-20
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato sesuai izin dari penulis
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected