Kisah Anak Pesisir (Slice of Life Story)

0



Kisah Anak Pesisir

oleh (mifthaakbie)


                Aku hanya memandangnya dari kejauhan. Dia terlihat mengemas perlengkapan melaut dan menangkap ikan. Jala-jala yang bertumpuk-tumpuk tidak karuan dia tata dengan teliti.
                Aku menghampirinya sambil menggaruk punggung tangan kiriku yang gatal.
                “ Mau pergi?”, tanyaku padanya. Dia terlihat kaget.
 “ Iya. Tapi, sepertinya ibu tak mengizinkan!”. jawabnya.
Tiba-tiba teriakan seorang wanita terdengar dari dalam.
“ Ali! Jangan pergi!  Ibu takut di rumah sendiri!”. Akhirnya  Ali berlari kedalam rumah. Akupun mengikutinya.
Seorang wanita setengah baya sedang duduk-duduk sambil bernyanyidan menyisir rambut. Ialah ibu Ali.
                “ Nak, kau jangan pergi.Nanti ibu bisa batuk!”, sahut wanita itu. Alipun mendekatinya, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Sebenarnya, aku sendiri sangat kagum kepadanya. Dia adalah sorang anak yang luar biasa. Di saat ibunya sedang sakit jiwa seperti ini, dia tetap setia. Walaupun terkadang dia menjadi sasaran kemarahan ibunya. Ibunya begitu sejak ayah ali meninggal dunia. Ibunya tak bisa menerima kenyataan itu, dan akhirnya menjadi gila. Bicaranyapun terkadang terkesan tak jelas, tiba-tiba marah dan berteriak-teriak tak karuan. Sungguh hebat Ali. Dia bagaikan mesin yang telah di progam oleh Allah SWT, untuk patuh dan setia kepada ibunya. Otaknya bagaikan CPU yang tidak pernah terserang Virus.
Aku hanya bisa memandang haru pemandangan di depanku ini.
                “ Tapi bu, hari ini kita tak punya lauk apapun,” sahut Ali kepada Ibunya.
                “ Aku mau kau memancing biskuit coklat di laut nanti.” Jawab ibunya.
Ali hanya tersenyum melihat tingkah iunya. Dia lalu mengajakku keluar rumah, lalu duduk di balai-balai.
Aku emandang laut dan tersenyum.
                “Kenapa kau ini?. Adakah yang salah dengan laut itu?” tanyanya kepadaku dengan logat melayu yang kental. Walaupun terkadang dia berusaha mengimbangiku jika berbicara, tetapi tetap saja logat melayunya sering keluar.
                “Kenapa kau tidak segera berangkat melaut?” tanyaku.
                “Aku masih bingung. Macam mana caranya agar bisa memancing biskuit di laut.” Jawabnya dengan lugu. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.
                “Kenapa kau harus bingung?. Bukankah kau bisa menangkap ikan di laut, lalu hasilnya kau belikan biskuit coklat sebanyak mungkin untuk ibumu!.” Kataku.
                “Alamaak, encer pula otak kau. Ah, aku tak jadi heran. Kau kan memang lulusan S2 pula. Sedangkan aku, cuma lulusan S-Teh. Ha..ha..ha..” kamipun tertawa bersamaan.
                “Kalau begitu, kenapa kau tidak segera berangkat?. Bukankah semakin siang cuaca semakin panas?, pergilah, aku akan pulang membersikan taman sebelah rumahku!” kataku kemudian.
Setelah kami berpisah, akupun pulang kerumah, lalu memotong bonsai yang berada di samping rumahku dengan rapi.
                Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Tiba-tiba telefonku berdering.
                “Hallo, Assalamu’alaikum!” kata orang di seberang sana, yang tak lain adalah Andra.
                “Wa’alaikum salam. Ada apa Ndra?” tanyaku.
                “Ada kabar mendadak. Sepertinya kau harus pulang hari senin depan!”
                “Apa?!. Memangnya ada apa?”
                “Kita masuk pada hari selasa depan. Jadwal kita di percepat karena di perkirakan para Dosen kita ada rencana mendadak pada akhir bulan ini!”
                “Apa tidak bisa izin?”
                “Ya jelas tidak bisa. Kitakan harus mengumpulkan tugas. Suah dulu ya!. Kalau ada kabar lain, akan ku beri tahu...”
                “Oh, baiklah” jawabku. Telefonpun terputus. Aku baru menyadari bahwa Andra belum mengucapkan salam.
                “Huh, dasar anak aneh!. Selalu terburu-buru!” umpatku dalam hati.
                Esok harinya aku membawa sebuah kamera, sambil menuju rumah Ali. Dia terlihat sendang menyeret tumpukan atap-atap rumbia. Akupun mendatanginya.
                “Hai Li! Sedang apa kau?. Pagi-pagi sedang sibuk!” sapaku. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak.
                “Ibuku setiap malam selalu mengeluh gerah. Aku tak tegalah jikalau melihatnya.” Jawabnya.
                “Lalu kenapa kau menyeret benda-benda itu?”
                “Kau lihat atap-atap itu?” tanyanya sambil menunjuk atap rumahnya.
                “Ibuku sangat gerah di dalam. Aku akan ganti atap itu dengan atap rumbia ini. Agar ibuku tak gerah sangat.” Terusnya.
                “Bagaimana dengan biskuit kemarin?” tanyaku.
                “Lihatlah ke dalam. Ibuku sedang menumpuk-numpuk biskuit itu menjadi sebuah istana. Agaknya, dia ingin menjadi arsitek”. Kamu tertawa bersamaan.
                Beberapa jam kemudian, atap rumah Ali menjadi sekumpulan daun-daun rumbia yang di tata rapi. Rumah ini sekarang terlihat indah sekali.
                Beberapa hari kemudian, aku bermaksud memberi tahu Ali bahwa besok aku akan kembali ke kota asalku, Mojokerto.
                “Apakah ibumu sudah tdak kepanasan?” tanyaku padanya pada saat kami duduk-duduk di balai-balai depan rumahnya.
                “Agaknya macam itulah. Buktinya beberapa hari ini dia tidak begitu cerewet menyuruhku ambil kipas.”
                “Mmm.. aku akan memberi tahu satu hal padamu” kataku.
                “Apakah itu?”
                “Besok pagi, aku akan kembali ke Mojokerto untuk melanjutkan kuliah.”
                “Secepat itukah? Ah, masa bodoh dengan hal itu. Memanglah hak kau untuk kembali. Bukankah kau memang harus melanjutkan kuliah S2-mu itu. Kalau aku, mungkin haruslah menghabiskan S-Teh ku.” Kamipun tertawa.
                “Apakah kau tak melaut?. Sepertinya cuaca hari ini mendukung.”
                “Ah, nanti sajalah. Ibuku sedang tidur. Aku tak tega bangunkan dia. Tunggulah sejenak sampai dia bangun lagi.” Jawabnya.
                “Baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu ya!” kataku.
                Hari berganti siang. Aku berniat untuk pergi ke rumah Ali. Saat aku akan mengunci rumah, tiba-tiba seorang bapak-bapak mendatangiku dengan nafas tersenggal-senggal.
                “Kau temannya Ali bukan?” tanyanya.
                “Iya, ada apa pak?”
“ Rumah Ali kebakaran!. Cepatlah kesana!”, lalu bapak itu berlari meninggalkanku. Akupun mengunci pintu dan berlari menuju rumah Ali.
Asap mengepul. Puluhan orang sedang panik untuk memadamkan api. Terlihat olehku, Ali menangis dan berteriak-teriak memanggil ibunya. Aku menghampirinya dan mencoba menenangkannya bersama para penduduk sekitar. Aku mencoba bertanya pada salah satu warga, tentang kejadian itu.
Ternyata, pada saat Ali pergi melaut, ibunya merasa kedinginan dan menyalakan api. Lalu, apipun semakin besar, dan membakar atap rumah Ali yang terbuat dari rumbia. Ibu Ali masih terjebak di dalam rumah dan sampai saat ini belum di temukan.
Esok paginya, aku mendatangi rumah salah satu kerabat Ali yang di pakai untuk tahlilan ibu Ali. Ternyata, aku baru tahu bahwa jenazah ibu Ali sudah di makamkan pada minggu sore kemarin.
Pada saat aku datang, Ali sedang duduk di pojok ruang tamu. Puluhan tamu menyalamiku. Lalu, akupun mendatangi Ali, dan duduk di sampingnya. Sebenarnya maksud kedatanganku ingin berpamitan. Karena pada jam setengan 10 pagi nanti aku akan pulang ke Mojokerto.
“Aku turut berduka cita.” Kataku padanya. Dia tak menjawabku. Dia hanya menoleh dan memandangku. Lalu berkata,
“Aku tau maksud kedatangan kau. Selain untuk sekedarmenguapkan ‘turut berduka cita’ bukankah kau ingin berpamitan untuk kembali ke kota asalmu?”. Akupun mengangguk. Dia terdiam melamun sesaat, lalu berkata lagi,
“Bolehkah aku meminta tolong padamu?”
“Apapun itu insya allah aku akan mewujudkannya”
“Apakah kau akan berkunjung. Barang sebentar ke sini?”
“Tentu. Aku pasti akan rindu dengan masakan ikan bakarmu”
“Kalau kau kesini, tolong bawakan aku biskuit coklat. Bolehkan?”
“Boleh saja, tapi untuk apakah gerangan?”
“Aku ingin mengenang ibu, dengan biskuit-biskuit itu” jawabnya. Akupun mengangguk sambil tersenyum. Lalu, aku berpamitan untuk pulang.
Aku beruntung bisa kenal seorang anak laki-laki yang sangat setia dengan ibunya.
Ah.. biskuit coklat. Dia selalu mengenangnya. Dan entah mengapa, kata-katanya itu membuatku berusaha untuk tak patah semangat, dan mengetahui seberapa pentingnya seorang ibu bagi anaknya.
SELESAI

**Notes
First Publish @majalah Kamus ed-20
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato sesuai izin dari penulis
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top