Permen Pak Wo (Slice of Life Story)

0

Permen Pak Wo

oleh (mifthaakbie)

Panggil saja ia Pak Wo. Nama aslinya adalah Jiwo. Ya, hanya Jiwo, tanpa kata awalan dan akhiran. Hanya satu kata, dan mudah di ingat. Hampir semua orang di desa ini mengenalnya . Jika kau ingin mencarinya, itu sangat mudah. Ia sering di temui di dua tempat. Yaitu di gapura depan tikungan gang, dan di samping warung Yu Darmi, dengan rokok tradisional bikinannya sendiri. Anak-anak sangat menyukainya, karena ia selalu memiliki permen-permen di saku-saku celana dan bajunya. Entah dari mana ia mendapat permen-permen itu, orang-orang desapun juga tak ada yang tahu jelas dengan pasti. Yu Darmipun mengaku bahwa  tak pernah sekalipun Pak Wo meminta permen padanya, walaupun hanya sebiji. Dia memang misterius. Hingga kinipun tak ada yang tahu tentang asalnya. Ia datang ke desa ini sekitar 1 tahun yang lalu, tanpa identitas dan keterangan sambil membawa tas ransel besar berisi pakaian-pakaian.  Orang- orang beranggapan bahwa ia kabur dari rumah sakit jiwa.
Pagi ini, kabut tebal menyelimuti. Jam menunjukkan pukul 04.30. tapi,Pa Wo sudah berada di depan gapura gang. Ia menyedot rokok tradisional bikinannya sendiri. Asap tipis keluar dari rokoknya. Tak lama kemudian, Alex terlihat akan melewati gapura tempat Pak Wo berada. Agaknya, ia baru pulang dari surau. Langkahnya terlihat terburu-buru sambil mencincing sarung yang ia kenakan. Kopiahnya miring dan berjalan dengan cepat. Pak Wo yang sedari tadi mengamatinya dari jauh, mengepulkan asap tipis kembali dengan rokoknya.
“Dari mana Le?” kata Pak Wo ketika Alex sudah berada di depannya. Alexpun menghentikan langkahnya, lalu mengamati sosok di balik asap tipis itu.
“Dari shalat subuh Pak,” jawabnya ketika mengetahui pemilik suara tersebut.
“Jangan terburu-buru. Nanti kau bisa batuk.” Kata Pak Wo. Alex hanya tersenyum mendengar kata-kata Pak Wo.
“Ini, ada oleh-oleh dari Pak Wo. Rasanya enak.” Sambung Pak Wo sambil menyodorkan 3 biji permen coklat pada Alex. Agak ragu anak kota itu untuk menerimanya. Tapi, ia juga tak berani menolaknya.
“Terima kasih, Pak” Katanya, lalu mengambil 3 biji permen coklat itu sambil gemetar.
“Cepat pulang sana.” Kata Pak Wo. Alexpun akhirnya pergi dari tempat itu, menuju ke arah rumahnya dengan hati yang penuh tanda tanya. ‘Mimpi apa aku tadi malam?. Pagi-pagi sudah ketemu Pak Wo. Di kasih permen coklat pula. Dasar orang tua aneh.’ Kata Alex dalam hati sambil menggenggam erat permen-permen itu. Lalu, melangkahkan kakinya lebih cepat. Ia takut jika tiba-tiba Pak Wo berubah pikiran, lalu melemparnya dengan sandal.
Sedangkan dari jauh, Pak Wo memandang Alex yang berlajan pergi. Ia tersenyum-senyum sendiri melihat gerak-gerik anak kota itu. Lalu, membuat asap-asap tipis dengan rokok tradisional bikinannya sendiri.
Hari semakin siang. Halaman warung Yu Darmi semakin ramai oleh anak-anak yang bermain-main dan berlari kesana kemari. Sekumpulan ibu-ibu membicarakan seputar tentang puasa besok. Ada yang bercerita tentang kebiasaan puasa mereka tahun lalu, menu sahur, dan tentang keramaian anak-anak ketika tarawih. Pak Wo yang sedari tadi tidur-tiduran di samping warung Yu Darmi, hanya tersenyum-senyum mendengar obrolan ibu-ibu itu. Dan iapun bangun. Anak-anak yang mengetahui Pak Wo sudah bangun, langsung berlari menghampirinya.


“Pak Wo, punya permen?” tanya seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 3 tahun. Pak wo tersenyum mendengar celoteh anak itu. Lalu, memberi beberapa permen pada anak-anak itu.
“Terima kasih Pak Wo.” ucap mereka, lalu pergi sambil tersenyum gembira.
“Pak Wo. Mau ngopi?” tiba-tiba suara Yu Darmi mengagetkan Pak Wo.
“Kopi rasa apa Yu?” tanya Pak Wo.
“Rasa duren!. Ya rasa kopi lah.” Jawab Yu Darmi jengkel dengan pertanyaan Pak Wo. Pak Wo pun akhirnya berjalan menuju ke dalam warung Yu Darmi. Ya, walaupun Pak Wo tak pernah membayar, tapi, Yu Darmi selalu memberikan kopi padanya. Walaupun hanya segelas dalam sehari, atau terkadang jika Yu Darmi benar-benar krisis uang, Pak Wo terpaksa menahan rasa keinginan ngopi. Dan, untungnya, Pak Wo tak pernah meminta sebelum Yu Darmi menawari. Warga sekitarpun selalu dengan senang hati, sering memberinya makanan untuk mengganjal perutnya yang lapar, walaupun hanya nasi bungkus murahan.
Malam pun datang, dan tarawih pertama pada tahun ini segera di gelar. Anak-anak kecil berlarian ke sana kemari di pelataran masjid.
“Pak Wo, mau ikut tarawih?” tanya seorang pengurus masjid padanya.
“Ndak, saya mau nungguin sepeda motor orang-orang biar nggak hilang.” Jawab Pak Wo. pengurus masjid itupun tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Baiklah, kalau begitu,  saya shalat dulu ya.” Kata pengurus masjid itu. Pak Wo mengangguk. Lalu, pergilah pengurus masjid itu.
Setelah tarawih selesai, tiba-tiba terdengar teriakan parau dari arah parkiran sepeda motor.
“Maling! Maling!” itu suara Pak Wo.
Wargapun mendatanginya. Pak Wo terlihat bermuka garang. Ia memegang kedua tangan seorang lelaki yang berbaju hitam-hitam dan bertopeng dari belakang dengan tangan kanannya, lalu, tangan kirinya memegang sebuah sendal yang ia acungkan kepada lelaki itu.
“Ada apa Pak Wo?” tanya Wak Amrul, salah satu warga.
“Ini nih. Ada yang mau maling sepeda motor” kata Pak Wo. lelaki yang ia pegang, berusaha memberontak untuk lari. Tapi, beberapa orang warga, langsung mengamankannya. Tak lama kemudian, polisipun datang, dan membawa lelaki itu pergi.
Esoknya, ketika Pak Wo sedang asyik-asyiknya bersantai di atas kursi rotan samping warung Yu Darmi sambil merokok, tiba-tiba sekumpulan anak-anak mendatanginya.
“Pak Wo, hari ini punya permen?” tanya salah satu dari mereka. Pak Wo pun tersenyum.
“Maaf Le, Pak Wo sedang puasa, setelah lebaran saja ya.” Jawab Pak Wo. Anak-anak itupun mengangguk sambil tersenyum, lalu pergi bermain kembali.
“Pak Wo, mau kopi?” tawar Yu Darmi padanya. Iapun menggeleng.
“Maaf Yu, aku lagi puasa.” Jawabnya. Yu Darmipun melongo.
“Ya Sudah,” Yu Darmipun kembali masuk ke dalam warungnya.
‘Orang tua yang aneh. Mana ada puasa sambil merokok?’ batinnya dalam hati, sambil menggelengkan kepala.
Hari berganti menjadi sore. Suara tadarus anak-anak terdengar dari surau. Beberapa ibu-ibu terlihat duduk-duduk di depan warung Yu Darmi. Mereka sedang membicarakan maling tadi malam. Ibu-ibu membicarakan tentang pencurian tadi malam. Ternyata, pencurinya adalah Yadi, anak Mbok Yum, seorang tukang pijat di desa ini.
“Anak itu memang dari dulu begitu gelagatnya. Suka buat onar.” Kata salah seorang ibu-ibu.
“Iya, sepertinya, Mbok Yum juga tak terlalu memperhatikannya.” Sahut lainnya.
“Untung saja langsung di bawa polisi. Kalau tidak, kampung kita pasti kemalingan terus.”
“Iya, denger-denger nih, Yadi itu anak yang ada sebelum Mbok Yum menikah.”
“Mbok Yum memang tak bisa mengurus anak.” Yang lainpun mengangguk-angguk setuju.
Pak Wo terlihat seperti menutup telinga mendengar pembicaraan ibu-ibu itu. Lalu, tertidur di atas kursi rotan Yu Darmi sambil memegang erat dengan kedua tangannya, sendal yang ia kenakan biasanya. Bagaikan orang yang takut kehilangan sendal.
“Pak Wo, bangun, sudah maghrib. Mau nasi pecel?” tiba-tiba suara Yu Darmi membuat Pak Wo terkaget hingga gampir terjatuh dari tempatnya tidur. Tanpa banyak berkata, iapun bangun, lalu masuk ke dalam warung Yu Darmi untuk makan.
“Tadi ada Pak RT kesini bawa sarung dan kopiah baru. Katanya buat Pak Wo.  warga membelikannya buat sampeyan. Di pake buat tarawih. Terimakasih sudah tangkap maling, katanya.” Kata Yu Darmi sambil memberikan sebuah bungkusan kresek putih yang berisi sarung dan kopiah baru untuk Pak Wo. Pak Wo pun menerimanya sambil senyum-senyum.
Ya, yang namanya Pak Wo memang tak bisa di paksa. Walaupun sudah di beri sarung dan kopiah, Pak Wo tetap tak ingin tarawih. Ia lebih memilih berangkat ke masjid untuk sekedar duduk di depan masjid dengan memakai sarung dan kopiah yang di beri warga.
Lalu, pada suatu malam ketika Pak Wo sedang merokok di depan masjid sambil menunggui sepeda motor yang di parkir, sepasang kekasih lewat depannya.  Mereka berdua terlihat mesra. Yang perempuan memakai rok mini dan atasan ketat dengan syal yang melingkar di lehernya. Yang laki-laki, memakai celana jeans panjang dan atasan hem. Mereka berdua terlihat seperti selebritis tersesat.
“Dari mana nduk?” tanya Pak Wo pada mereka, ketika mereka lewat tepat di depan Pak Wo.
“Dari mall Pak.” Jawab si perempuan.
“Nggak tarawih?” tanya Pak Wo lagi.
“Nggak pak. Besok saja.” Jawab si laki-laki. Pak Wo hanya memandang mereka berdua dengan tatapan tajam. Lalu tersenyum.
“Ini oleh-oleh dari Pak Wo. Besok tarawih ya!” kata Pak Wo. Lalu, iapun memberikan 2 biji permen pada mereka.
Hingga pada suatu malam, Pak Wo tak terlihat di sekitar masjid. Wargapun bertanya-tanya apakah gerangan yang membuat Pak Wo tak datang. Akhirnya, esok paginya, Pak RT mendatangi warung Yu Darmi. Tetapi, yang di tuju tak ada di sana. Lalu, Pak RT pun menuju gapura depan gang.
Pak Wo terlihat duduk-duduk di gapura. Dengan rokok di tangan, ia mengepulkan asap-asap tipis. Pak RT mendekatinya.
“Assalamu’alaikum Pak Wo,” sahut Pak RT. Pak Wo pun menoleh.
“Wa’alaikum salam”
“Pak, saya ingin bertanya,” kata Pak RT. Pak Wo tersenyum.
“Akhir-akhir ini Pak Wo tak terlihat di masjid. Ada apa Pak?” tanya Pak RT.
“Buat apa saya ke masjid?. Saya senang menunggui motor-motor. Tapi, sekarang lama-lama orang-orang yang ke masjid semakin sedikit. Lalu, apa yang harus saya tunggui?. Motor yang cuma berjumlah beberapa buah itu?. Kalaupun hilang, pastilah ketahuan dengan gampang.” Jawab Pak Wo.
“Malahan, saya malah ketemu anak-anak pacaran.” Sambungnya.


Esok malamnya, masjid kembali penuh. Tapi, Pak Wo tak terlihat juga batang hidungnya. Akhirnya, paginya, beberapa warga hendak mencarinya. Di gapura depan gang tak ada. Di samping warung Yu Darmi juga tak ada. Hingga pada akhirnya, anak-anak berlarian menuju warung Yu Darmi sambil mengacung-acungkan permen.
“Ibuu..” teriak mereka pada ibu masing-masing yang sedang berkumpul membicarakan hilangnya Pak Wo.
“Pak Wo memberi kami permen lagi.” Kata salah seorang anak-anak itu.
“Pak Wo?. Dimana dia sekarang?” tanya salah seorang ibu-ibu.
“Pak Wo tadi bilang kalau mau pergi jauh. Ia menyuruh kami untuk bilang pada orang-orang bahwa ia memberi permen pada warga. Dan ia letakkan di depan masjid. Katanya, Terimakasih sarung dan kopiahnya.” Jawab salah seorang anak kecil.
Wargapun berbondong-bondong menuju masjid. Di serambi masjid, terlihat bertumpuk-tumpuk permen berbagai rasa dan jenis. Jumlahnya mungkin puluhan, belasan, atau mungkin ribuan biji. Ya, itulah permen dari Pak Wo.

Selesai

**Notes
First Publish @Radar Mojokerto, 12 Agustus 2012
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato sesuai izin dari penulis
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top