Orang
orang di sekelilingku sangat menyayangiku. Baik teman, tetangga, maupun
keluargaku. Aku pintar, cantik, dan baik, begitulah pendapat mereka tentang
diriku. Atau mungkin aku terlalu percaya diri?, ah, masa bodoh. Yang penting,
semua hal di sekelilingku membuatku nyaman. Tanpa ada penghianatan, tanpa ada
kebohongan.
Namun,
semuanya berubah ketika penghianat ini masuk dalam duniaku. Wajahnya yang
menunjukkan seolah dia adalah pria yang paling baik hanya sebagai topeng. Aku
tak suka dengan topeng itu. Aku memegang wajahnya, mengelusnya. Ia terlihat
ketakutan. Bibirnya bergetar. Berkali kali ia mengatakan bahwa ia tak pernah
sekalipun menghianatiku. Tapi itu bohong, aku tau hal itu. Aku tau dengan mata
kepalaku sendiri. Ia pergi berkencan dengan wanita lain. Tepat di depan mataku.
Malam
itu, aku berniat pergi belanja ke kota. Duduk sebentar di alun alun, lalu
mengirimkan sms padanya. Ya, ia malam ini tak bisa menemaniku pergi keluar,
katanya, ia sedang sibuk. Ada urusan penting yang harus ia selesaikan di
kantor. Aku percaya. Toh, selama ini dia tak pernah membohongiku. Selang
beberapa menit kemudian, sepasang kekasih berjalan di depanku. Jaraknya tak
terlalu jauh, dan tak terlalu dekat dengan tempat dudukku. Alun-alun yang ramai
dengan orang orang membuatku tak bisa memandang mereka dengan jelas. Yang ku
tahu, itu dirinya. Ya, dirinya. Dengan seorang wanita. Wanita itu memegang
tangannya dengan mesra, kepalanya di letakkan dengan lembut di pundak yang ia
gandeng. Aku terpaku. Mereka menghilang di tengah kerumunan.
Bagai
tersetrum listrik bertegangan tinggi, hatiku seakan terbakar dan diriku hampir
tak bisa berpikir. Kerlip kerlip lampu jalanan, dan cekikikan anak anak yang
berada di sekelilingku bagaikan sura kaset rusak yang semakin parah mengacaukan
otakku. Bagaimana mungkin ia bisa berbohong padaku?. Dia satu satunya orang
yang berani menghianatiku.
Namun
tenang saja. Penghianat ini sekarang ada di sini. Ku pandangi wajahnya yang
ketakutan. Ku belai kembali wajahnya. Entah kenapa ia sudah berhenti berteriak.
Hanya menangis dan ketakutan.
"apa
ikatan ini terlalu kencang?", tanyaku padanya. Ia hanya diam.
"kalau
begitu, mungkin ini terlalu kendor. Aku akan dengan senang hati
mengencangkanya, sayang", sambungku. Akupun tersenyum padanya, lalu
berjalan ke belakang kursi tempat ia duduk. Ku kencangkan tali yang mengikat
tubuhnya pada kursi yang ia duduki.
"ugh!",
ia menggerang kesakitan. Namun, bukankah ia yang menginginkan hal ini?. Ia tak
menjawab pertanyaanku, berarti ia menginginkan hal ini. Ya, aku suka melihatnya
seperti ini.
Wajahnya
memelas, tanpa ada teriakan. Ah, wajah itu. Bukankah itu hanya topeng?. Aku
ingin menghias topeng itu. Dengan apa ya?. Mungkin dengan cutter kecil ini.
Akan ku buat topengnya terlihat lebih manis dan imut.
Aku
berdiri tepat di depannya. Lalu duduk di pangkuannya. Ku angkat wajahnya. Ku tatap
ia lekat lekat.
"aku
ingin menghias topengmu supaya terlihat lebih manis."
"apa
lagi yang ingin kau lakukan padaku?!"
Aku
tertawa kecil. Lalu ku ukirkan goresan tipis di pipinya. Ia berdesis kesakitan
saat sisi dingin cutter ini menembus kulit wajahnya. Tiga goresan di kanan, dan
tiga di kiri. Goresan itu membuatnya seimut kucing yang memiliki kumis di kanan
dan kiri. Darah mengucur dari goresan itu. Di susul dengan air matanya. Ia
mohon ampun. Namun, aku tak suka dengan permohonan ampunnya. Ku kecup bibirnya.
Ia berhenti memohon ampun sesaat.
Akupun
turun dari pangkuannya. Berjalan mengelilinginya beberapa kali, sambil
mengamatinya. Ia tertunduk lemas dengan tetesan darah yang bercampur dengan air
matanya.
"hmmm,
aku lebih suka kau berteriak daripada meminta ampun, sayang. Tidak bisakah kau
berteriak untukku?" tanyaku. Tak ada jawaban. Ia tetap menunduk.
Ku
letakkan tanganku di pundaknya. Lalu berdiri tepat di sebelahnya. Aku duduk di
lantai, tepat di sebelahnya. Dengan begini, aku bisa melihat wajahnya walaupun
ia tertunduk. Ku pegang telapak tangannya. Ku eluskan pada wajahku. Ini tangan
yang telah di pegang oleh wanita lain, wanita yang bukan diriku. Ia menatap
wajahku.
"lepaskan
aku. Kau sudah gila!" kali ini ia berteriak padaku.
"wah,
kau sudah berbicara?. Ini membuatku senang. Kenapa kau tak berteriak minta
tolong lagi seperti saat pertama kali aku menyeretmu kesini, kucingku yang
manis?"
"kau
sudah gila!. Aku sudah lelah dengan semua ini. Tak ada yang datang menolongku.
Ini ruang bawah tanah rumahmu. Tak mungkin ada yang medengarku!"
"jadi,
kau menyerah?"
"ya.
Terserah mau kau apakan aku ini. Yang jelas, walaupun kau menyiksaku, aku tetap
mencintaimu. Kalau perlu, bunuh diriku."
Aku
tersenyum padanya. Apa ia benar benar mencintaiku?. Atau hanya akal akalannya
saja supaya diriku kasihan, dan membebaskannya?. Ah, aku tak sebodoh itu untuk
ia bohongi.
Ku ambil
katana peninggalan kakekku. Berkilau sekali. Di ruangan bawah sini banyak
sekali peralatan yang tak boleh di ambil sembarangan. Namun, kini aku bebas.
Tak ada siapapun di rumah. Aku mengambil apapun sesuka hatiku. Termasuk katana
ini. Ini pasti akan lebih menarik daripada cutter tadi.
"apa
pendapatmu tentang benda ini?". Ia terlihat terkejut melihatku membawa
benda ini.
"apa
kau ingin menusukku?"
Aku
berfikir sejenak.
"mmm,
mungkin tidak. Aku ingin memotong sesuatu"
"kau
ingin memenggalku?"
"ah,
tidak juga"
"lalu
apa yang ingin kau potong?"
Aku tak
menjawab pertanyaannya. Ku usapkan katana ini ke tanganku. Tanganku tergores.
Darah mengucur dari telapak tanganku. Perih. Tapi menyenangkan. Ia menatapku
ngeri.
Aku ingin
memotong tangannya. Tangan yang telah ia gunakan untuk memegang tangan wanita
lain. Ku arahkan katana ini tepat di pergelangan tangannya. Ia menjerit,
berteriak. Teriakan yang indah. Darah menyembur bagaikan keran air dari
tangannya. Ia bergerak tanpa bisa berdiri. Sekarang tangan yang satunya. Ia
meronta kesakitan. Menangis dan memohon ampun.
Aku tak
suka ia mengatakan ampun. Sangat tak suka. Ku kecup bibirnya. Cucuran air mata
mengalir deras dari matanya.
"ku
mohon, jangan menyiksaku. Bunuh aku saja. Aku tak tahan."
Ia
memohon. Aku tak perduli.
Sakit
hati yang ku rasakan. Lebih parah dari ini. Ia harus merasakannya juga.
Aku
kembali duduk di pangkuannya. Ku pandangi wajahnya yang berhias darah.
"apa
kau masih mencintaiku?" tanyaku padanya. Ia terdiam sejenak.
"aku
masih mencintaimu walau kau membunuhku." suaranya terdengar seperti
erangan kesakitan.
Aku tak
percaya padanya. Itu hanya omong kosong. Ku cium bibirnya. Ku peluk ia dengan tangan kiriku.
Tangan kananku mengarahkan katana tepat di belakang punggungnya. Menembus
tubuhnya, hingga menembus tubuhku. Sakit. Aku tak perduli. Ku peluk ia semakin
erat. Yang jelas, kini kami bersama. Tak terpisahkan. Ia tak akan mungkin pergi
bersama wanita lain lagi. Atau bisa di sebut ia memang tak pernah pergi dengan
wanita lain. Ia tak pernah menghianatiku. Aku hanya mengarangnya. Ia memang
orang yang paling mencintaiku. Aku percaya hal itu. Oleh karena itu, aku ingin
selalu bersamanya.
SELESAI
**Cuap cuap ringan
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman wattpad milik penulis disini : krisakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected
**Cuap cuap ringan
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman wattpad milik penulis disini : krisakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected