Kebisuan Penjara (Slice of Life Story)

0

Kebisuan Penjara


oleh (mifthaakbie)

Ribut ketika siang, banyak nyamuk di malam hari, dan mencekam di tengah malam. Salah satu tetanggaku juga ada yang bertempat tinggal di sini. Menurutku dia memang pantas di sini, karena kejahatan yang telah di lakukannya. Dia telah mencuri kotak amal masjid di desaku.
Banyak juga para penjahat-penjahat dari kelas teri sampai kelas zoro. Aduh, kok jadi seperti lagunya Iwan Fals ya?. Sudahlah, tapi, memang itu kenyataan adanya. Mereka bertumpuk, terkumpul, dan menetap menjadi satu dalam lapas yang sama. Tak jarang pula, suara pertengkaran, tangisan dan ampunan terdengar di antara lorong-lorong. Suara keciprik yang di timbulkan oleh penjaga malam yang memainkan puluhan kunci jeruji terdengar bagaikan suara sepatu koboi tempo dulu. Kunci-kunci itu bagaikan menari-nari mengikuti goyangan jari-jari tangan yang memainkannya. Suaranya mengalahkan kesunyian dan kesuraman tempat itu. Suara kunci itu terkadang bagaikan di kolaborasikan dengan suara tepukan tangan dari para penghuni jeruji. Mereka bukannya ingin melepas strees. Tapi, mereka bermaksud membunuh ribuan lamuk yang datang untuk makan. Mereka menepuk lamuk-lamuk itu dengan telapak tangan hingga tergencetlah si lamuk, dan mati.
Halaah, kenapa juga aku ini?. Malah menjelaskan tentang penjara. Kalau aku cuma menjelaskan, mungkin sekitar sepanjang satu cerpen. Hanya buang-buang waktu saja. Sudahlah, kita mulai saja ceritanya.
****
Pagi ini, adalah awal dari salah satu hari mingguku dari sekian ribu hari minggu yang telah ku lewati.
“Krisna. Ikut apa tidak?” tanya ayah dari dalam mobil yang berada di depan teras rumah padaku. Akupun berlari keluar rumah sambil sedikit berlari.


“Iya ayah!” jawabku. Lalu berlari dan menuju mobil ayah, lalu masuk dan duduk di dalamnya. Mobilpun melaju.
Ayahku adalah salah seorang polisi di kotaku. Sejak kecil, ayah sering mengajakku berkunjung ke kantornya dan mengajakku berjalan-jalan di lorong-lorong penjara. Menemui berbagai  macam manusia jahat di dalamnya. Terkadang, ayah juga sering memperbolehkanku berjalan-jalan sendiri, ketika ayah ada urusan penting dengan anak buahnya.
Hingga aku mulai tumbuh dewasa,aku tetap suka ikut ayahku ke sini. Hampir semua penghuni di sini, aku mengenalnya.  Menurutku, menyenangkan rasanya ketika mendengar kisah-kisah penghuni jeruji di sini, langsung dari sumbernya.
Setelah sampai di tujuan, seperti biasa, aku langsung saja ngeloyor sendiri begitu saja. Ayahpun menghampiri salah satu anak buahnya di situ, dan merekapun mengobrol.
“Hai Boy!” sapaku pada salah satu penghuni lapas,yang sudah sangat ku kenal. Diapun langsung mendekati jajaran besi yang berada di depanku.


“Oh. Hai Kris” jawabnya sambil memegang salah satu batang besi di depannya.
“Sudah besar kau rupanya. Jarang sekali kau kesini. Ku kira kau sudah lupa denganku Dulu aku melihatmu masih sebesar kacang polong. Hahaha.. kapan terakhir kali kau kesini?” sambungnya.
“2 minggu yang lalu.” Jawabku singkat. Lalu akupun duduk di salah satu bangku polisi jaga yang ada di depan jeruji Boy.
“Ow. Mungkin udara di penjara membuat ingatanku eror.” Jawabnya.
“Siapa dia?” tanyaku, ketika melihat seorang lelaki asing di dalam satu jeruji dengan Boy.
“Namanya Roni. Dia rakyat baru di sini” jawab Boy. Sebenarnya aku sedikit menahan tawa, ketika Boy menggunakan kata ‘rakyat’ dalam kalimatnya. Menurutku, itu sedikit terdengar aneh di telingaku.
“Hei Ron!. Kesini kau” panggil Boy pada Roni yang sedang duduk di pojok. Ronipun menghampiri kami.
“Kenalkan, ini Krisna. Putrinya pak Alfi.” Kata Boy pada Roni.
Sejenak, Roni mengamatiku yang sedang duduk. Lalu tersenyum.
“Hai nona. Aku tak pernah membayangkan kalau anaknya Pak Alfi secantik dirimu.” Kata Roni padaku dengan senyum licik.
Aku memandangnya sebentar, lantas berkata.
“Sepertinya penjara ini akan menjadi tempat tinggalmu untuk waktu yang cukup lama” kataku singkat.
“Apa maksudmu nona?” tanya Roni. Aku tak menjawab pertanyaannya, lantas membelokkan pembicaraan.
“Coba ku tebak, kejahatan apa yang baru kau lakukan” kataku.
“Menurutmu?” tanya Boy.
“Kau telah membunuh ya?” tanyaku pada Roni dengan nada menyelidik. Diapun tersenyum kecil.
“Kau pintar sekali nona. Mungkin karena darah kepolisian mengalir di dalam tubuhmu” jawab Roni.
“Kenapa kau membunuh?” tanyaku lagi.
“Ya, Hanya untuk menghilangkan seseorang yang sangat menjengkelkan dari dunia ini. Dan rasanya sangat memuaskan.” Jawabnya dengan nada apa adanya.
“Apa itu jalan yang terbaik?” tanyaku.
Tapi, sebelum Roni sempat menjawab, ayahku sudah memanggilku.


“Krisna!. Ayo kita pulang” sahut ayah. Akupun berdiri dari kursi, lalu berkata pada Roni dan Boy.
“Aku tak perlu jawaban. Terimakasih telah berbagi sedikit kisahmu Ron!” kataku. Lalu akupun pergi menghampiri ayah. Dan pulang.
Aku tahu bahwa alasan ayah memanggilku bukan hanya aku harus pulang. Tetapi, karena ayah tidak mau aku bergaul terlalu dekat dengan pra penjahat di sini. Kata ayah, itu tidak terlalu baik untuk gadis yang hampir berumur 17tahun sepertiku.
******
Hari demi hari berlalu. Mungkin sudah sekitar 2 minggu, aku tak ke kantor polisi. Mungkin Boy dan Roni sudah rindu pada pertanyaan-pertanyaanku. Tapi, masa bodoh mereka merindukannya. Kehidupan mereka kan tidak sama dengan kehidupanku.
Hari ini, sebuah pertengkaran heboh, mengguncang rumahku. Suara perdebatan antara dua lelaki, terdengar jelas dari ruang tamu sampai kamar tidurku. Ayah dan kakak laki-lakiku sedang bertengkar hebat. Aku hanya diam dan duduk di atas kasur dan mengunci rapat pintu kamarku dari dalam.


“Aku malu punya anak sepertimu!. Sejak kapan kau mengenal barang haram itu hah?!.” Suara bentakan ayah yang keras, terdengar sampai kamarku.
“Apa semua uang dan fasilitas yang ku berikan padamu itu kurang?. Kenapa kau sampai menjual arang haram itu?. Apa aku salah mendidikmu?” suara ayah terdengar sangat marah.
Akupun tak tahan mendengar suara bentakan-bentakan yang sangat keras itu. Akhirnya aku membuka pintu kamar, lalu menuju ruang tamu. Aku menyandarkan punggungku di tembok pintu dalam ruang tamu. Terlihat kakak duduk kursi ruang tamu. Dan ayah berdiri di depannya sambil terlihat marah.
“Ya tuhan.. Mengapa kau menguji hambamu seberat ini?” Ayah berkata sambil memandang tajam ke arah kakak.
Sekantong kecil ganja, di banting ayah di depan kakak. Kakak hanya diam seribu bahasa, lalu berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke kamarnya. Ayahpun pergi sambil marah-marah menuju ruang tengah. Entah mau apa dia.
Aku mengikuti kakak, lalu menyandarkan punggungku di samping pintu kamarnya yang terbuka. Dia terlihat menyesal, tapi aku tak terlalu peduli.


“Kelihatannya ka sudah bosan tinggal di rumah” kataku dengan nada datar. Dia memandangku lalu menjawab.
“Apa maksudmu?”
“Kurasa kau sudah tidak betah hidup di rumah, dan berharap tinggal di dalam penjara”.
“Tapi aku sangat menyesal Kris” katanya dengan nada menyesal. Aku terdiam.
Tiba-tiba sebuah rencana licik melewati pikiranku, ketika aku melihat sebuah gunting tajam yang tergeletak begitu saja di atas laci yang berada di samping pintu kamar kakak.
“Aku bisa membantumu.” Kataku.
“Benarkah?”
“Tentu saja. Aku bsa membantumu keluar dari semua masalah yang membelitmu itu. Kau tak akan bertengkar lagi dengan ayah, dan kau tak perlu tinggal sampai tua di penjara.” Kataku sambil tersenyum.
“Apa rencanamu?”
“Mudah saja. Tangkaplah gunting ini”. Dengan secepat kilat, aku mengambil gunting tadi, lalu melemparkannya ke arah kakak. Tak ayal, kakak yang tak bisa mengatasi tindakanku yang secara tiba-tiba itu, langsung tertusuk oleh gunting itu tepat di dada sebelah kanannya.
Dia terjatuh, dan merintih kesakitan. Bajunya yang semula putih, sudah berubah menjadi warna merah darah di sebagian sisinya. Aku menghampirinya dan dengan kejam mencabut gunting yang menancap di dadanya tanpa ampun. Dia menjerit kesakitan. Aku memandangnya sambil tersenyum kecil.
“Bagaimana kau bisa mengatasi masalah, jika menangkap gunting saja kau tak bisa. Kau sungguh payah. Tapi, tenang saja. Kau tak perlu takut untuk masuk penjara lagi. Aku kecewa mempunyai kakak sepertimu. Kita telah kehilangan ibu. Dan aku tak mau kehilangan ayah gara-gara kau. Kau telah mengecewakan ayah. Tak ada gunanya kau hidup. Selamat tinggal!” kataku. Kakak merintih. Lama-lama tubuhnya lemas dan tak bergerak lagi.
******
Jenazah kakak terlihat begitu tenang. Ia terbalut kain kafan yang putih bersih. Puluhan pelayat membacakan surat Yasiin dan Tahlil untuknya. Aku menangisi jenazah kakak. Aku cukup sulit untuk memegang tubuhnya. Borgol yang melingkar di tanganku cukup kuat untuk di lepas dengan tangan kosong.
“Krisna, mari. Sudah waktunya.” Kata seorang polisi anak buah ayah, dengan nada lembut kepadaku. Aku menghela nafas. Lalu mencium kening kakak dengan penuh sayang.
“Maafkan aku kak,” kataku lirih pada jenazah kakak.
Aku di giring para polisi menuju keluar rumah. Sampai di depan teras, ayah memelukku dengan erat sekali sambil menangis. Ini pertama kalinya aku melihat ayah mengucurkan air mata. Air mata kesatria kami.
“Yang sabar ya. Ayah pasti akan sering mengunjungimu.” Kata ayah padaku.
“Ayah, aku menyayangimu.” Kataku sambil menangis.
******
Kini, hanya ada kesunyian, penyesalan dan kesedihan menjadi sahabatku. Aku kini sudah tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaanku pada Roni beberapa hari yang lalu. Karena, aku sudah mengetahui jawabannya.
Tempat yang dulu sering menjadi tempatku favoritku. Kini menjadi tempat tinggalku untuk beberapa tahun kedepan. Waktu yang cukup lama memang. Tapi, inilah suasana PENJARA.
Selesai

**Notes
First Publish @Radar Mojokerto, 27 Mei 2012
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato sesuai izin dari penulis
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top