Kebisuan Penjara
Ribut ketika
siang, banyak nyamuk di malam hari, dan mencekam di tengah malam. Salah satu
tetanggaku juga ada yang bertempat tinggal di sini. Menurutku dia memang pantas
di sini, karena kejahatan yang telah di lakukannya. Dia telah mencuri kotak
amal masjid di desaku.
Banyak juga para
penjahat-penjahat dari kelas teri
sampai kelas zoro. Aduh, kok jadi
seperti lagunya Iwan Fals ya?. Sudahlah, tapi, memang itu kenyataan adanya.
Mereka bertumpuk, terkumpul, dan menetap menjadi satu dalam lapas yang sama.
Tak jarang pula, suara pertengkaran, tangisan dan ampunan terdengar di antara
lorong-lorong. Suara keciprik yang di
timbulkan oleh penjaga malam yang memainkan puluhan kunci jeruji terdengar
bagaikan suara sepatu koboi tempo dulu. Kunci-kunci itu bagaikan menari-nari
mengikuti goyangan jari-jari tangan yang memainkannya. Suaranya mengalahkan
kesunyian dan kesuraman tempat itu. Suara kunci itu terkadang bagaikan di kolaborasikan dengan suara tepukan
tangan dari para penghuni jeruji. Mereka bukannya ingin melepas strees. Tapi,
mereka bermaksud membunuh ribuan lamuk yang datang untuk makan. Mereka menepuk
lamuk-lamuk itu dengan telapak tangan hingga tergencetlah si lamuk, dan mati.
Halaah, kenapa
juga aku ini?. Malah menjelaskan tentang penjara. Kalau aku cuma menjelaskan,
mungkin sekitar sepanjang satu cerpen. Hanya buang-buang waktu saja. Sudahlah,
kita mulai saja ceritanya.
****
Pagi ini, adalah
awal dari salah satu hari mingguku dari sekian ribu hari minggu yang telah ku
lewati.
“Krisna. Ikut apa
tidak?” tanya ayah dari dalam mobil yang berada di depan teras rumah padaku.
Akupun berlari keluar rumah sambil sedikit berlari.
“Iya ayah!”
jawabku. Lalu berlari dan menuju mobil ayah, lalu masuk dan duduk di dalamnya.
Mobilpun melaju.
Ayahku adalah
salah seorang polisi di kotaku. Sejak kecil, ayah sering mengajakku berkunjung
ke kantornya dan mengajakku berjalan-jalan di lorong-lorong penjara. Menemui
berbagai macam manusia jahat di
dalamnya. Terkadang, ayah juga sering memperbolehkanku berjalan-jalan sendiri,
ketika ayah ada urusan penting dengan anak buahnya.
Hingga aku mulai
tumbuh dewasa,aku tetap suka ikut ayahku ke sini. Hampir semua penghuni di
sini, aku mengenalnya. Menurutku,
menyenangkan rasanya ketika mendengar kisah-kisah penghuni jeruji di sini,
langsung dari sumbernya.
Setelah sampai di
tujuan, seperti biasa, aku langsung saja ngeloyor
sendiri begitu saja. Ayahpun menghampiri salah satu anak buahnya di situ, dan
merekapun mengobrol.
“Hai Boy!” sapaku
pada salah satu penghuni lapas,yang sudah sangat ku kenal. Diapun langsung
mendekati jajaran besi yang berada di depanku.
“Oh. Hai Kris”
jawabnya sambil memegang salah satu batang besi di depannya.
“Sudah besar kau
rupanya. Jarang sekali kau kesini. Ku kira kau sudah lupa denganku Dulu aku
melihatmu masih sebesar kacang polong. Hahaha.. kapan terakhir kali kau
kesini?” sambungnya.
“2 minggu yang
lalu.” Jawabku singkat. Lalu akupun duduk di salah satu bangku polisi jaga yang
ada di depan jeruji Boy.
“Ow. Mungkin
udara di penjara membuat ingatanku eror.” Jawabnya.
“Siapa dia?”
tanyaku, ketika melihat seorang lelaki asing di dalam satu jeruji dengan Boy.
“Namanya Roni. Dia
rakyat baru di sini” jawab Boy. Sebenarnya aku sedikit menahan tawa, ketika Boy
menggunakan kata ‘rakyat’ dalam kalimatnya. Menurutku, itu sedikit terdengar
aneh di telingaku.
“Hei Ron!. Kesini
kau” panggil Boy pada Roni yang sedang duduk di pojok. Ronipun menghampiri
kami.
“Kenalkan, ini
Krisna. Putrinya pak Alfi.” Kata Boy pada Roni.
Sejenak, Roni
mengamatiku yang sedang duduk. Lalu tersenyum.
“Hai nona. Aku
tak pernah membayangkan kalau anaknya Pak Alfi secantik dirimu.” Kata Roni
padaku dengan senyum licik.
Aku memandangnya
sebentar, lantas berkata.
“Sepertinya
penjara ini akan menjadi tempat tinggalmu untuk waktu yang cukup lama” kataku
singkat.
“Apa maksudmu
nona?” tanya Roni. Aku tak menjawab pertanyaannya, lantas membelokkan
pembicaraan.
“Coba ku tebak,
kejahatan apa yang baru kau lakukan” kataku.
“Menurutmu?”
tanya Boy.
“Kau telah
membunuh ya?” tanyaku pada Roni dengan nada menyelidik. Diapun tersenyum kecil.
“Kau pintar
sekali nona. Mungkin karena darah kepolisian mengalir di dalam tubuhmu” jawab
Roni.
“Kenapa kau
membunuh?” tanyaku lagi.
“Ya, Hanya untuk
menghilangkan seseorang yang sangat menjengkelkan dari dunia ini. Dan rasanya
sangat memuaskan.” Jawabnya dengan nada apa adanya.
“Apa itu jalan
yang terbaik?” tanyaku.
Tapi, sebelum
Roni sempat menjawab, ayahku sudah memanggilku.
“Krisna!. Ayo
kita pulang” sahut ayah. Akupun berdiri dari kursi, lalu berkata pada Roni dan
Boy.
“Aku tak perlu
jawaban. Terimakasih telah berbagi sedikit kisahmu Ron!” kataku. Lalu akupun
pergi menghampiri ayah. Dan pulang.
Aku tahu bahwa
alasan ayah memanggilku bukan hanya aku harus pulang. Tetapi, karena ayah tidak
mau aku bergaul terlalu dekat dengan pra penjahat di sini. Kata ayah, itu tidak
terlalu baik untuk gadis yang hampir berumur 17tahun sepertiku.
******
Hari demi hari
berlalu. Mungkin sudah sekitar 2 minggu, aku tak ke kantor polisi. Mungkin Boy
dan Roni sudah rindu pada pertanyaan-pertanyaanku. Tapi, masa bodoh mereka
merindukannya. Kehidupan mereka kan tidak sama dengan kehidupanku.
Hari ini, sebuah
pertengkaran heboh, mengguncang rumahku. Suara perdebatan antara dua lelaki,
terdengar jelas dari ruang tamu sampai kamar tidurku. Ayah dan kakak
laki-lakiku sedang bertengkar hebat. Aku hanya diam dan duduk di atas kasur dan
mengunci rapat pintu kamarku dari dalam.
“Aku malu punya
anak sepertimu!. Sejak kapan kau mengenal barang haram itu hah?!.” Suara
bentakan ayah yang keras, terdengar sampai kamarku.
“Apa semua uang
dan fasilitas yang ku berikan padamu itu kurang?. Kenapa kau sampai menjual
arang haram itu?. Apa aku salah mendidikmu?” suara ayah terdengar sangat marah.
Akupun tak tahan
mendengar suara bentakan-bentakan yang sangat keras itu. Akhirnya aku membuka
pintu kamar, lalu menuju ruang tamu. Aku menyandarkan punggungku di tembok
pintu dalam ruang tamu. Terlihat kakak duduk kursi ruang tamu. Dan ayah berdiri
di depannya sambil terlihat marah.
“Ya tuhan..
Mengapa kau menguji hambamu seberat ini?” Ayah berkata sambil memandang tajam
ke arah kakak.
Sekantong kecil
ganja, di banting ayah di depan kakak. Kakak hanya diam seribu bahasa, lalu
berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke kamarnya. Ayahpun pergi sambil
marah-marah menuju ruang tengah. Entah mau apa dia.
Aku mengikuti
kakak, lalu menyandarkan punggungku di samping pintu kamarnya yang terbuka. Dia
terlihat menyesal, tapi aku tak terlalu peduli.
“Kelihatannya ka
sudah bosan tinggal di rumah” kataku dengan nada datar. Dia memandangku lalu
menjawab.
“Apa maksudmu?”
“Kurasa kau sudah
tidak betah hidup di rumah, dan berharap tinggal di dalam penjara”.
“Tapi aku sangat
menyesal Kris” katanya dengan nada menyesal. Aku terdiam.
Tiba-tiba sebuah
rencana licik melewati pikiranku, ketika aku melihat sebuah gunting tajam yang
tergeletak begitu saja di atas laci yang berada di samping pintu kamar kakak.
“Aku bisa
membantumu.” Kataku.
“Benarkah?”
“Tentu saja. Aku
bsa membantumu keluar dari semua masalah yang membelitmu itu. Kau tak akan
bertengkar lagi dengan ayah, dan kau tak perlu tinggal sampai tua di penjara.”
Kataku sambil tersenyum.
“Apa rencanamu?”
“Mudah saja.
Tangkaplah gunting ini”. Dengan secepat kilat, aku mengambil gunting tadi, lalu
melemparkannya ke arah kakak. Tak ayal, kakak yang tak bisa mengatasi
tindakanku yang secara tiba-tiba itu, langsung tertusuk oleh gunting itu tepat
di dada sebelah kanannya.
Dia terjatuh, dan
merintih kesakitan. Bajunya yang semula putih, sudah berubah menjadi warna
merah darah di sebagian sisinya. Aku menghampirinya dan dengan kejam mencabut
gunting yang menancap di dadanya tanpa ampun. Dia menjerit kesakitan. Aku
memandangnya sambil tersenyum kecil.
“Bagaimana kau
bisa mengatasi masalah, jika menangkap gunting saja kau tak bisa. Kau sungguh
payah. Tapi, tenang saja. Kau tak perlu takut untuk masuk penjara lagi. Aku
kecewa mempunyai kakak sepertimu. Kita telah kehilangan ibu. Dan aku tak mau
kehilangan ayah gara-gara kau. Kau telah mengecewakan ayah. Tak ada gunanya kau
hidup. Selamat tinggal!” kataku. Kakak merintih. Lama-lama tubuhnya lemas dan
tak bergerak lagi.
******
Jenazah kakak
terlihat begitu tenang. Ia terbalut kain kafan yang putih bersih. Puluhan
pelayat membacakan surat Yasiin dan Tahlil untuknya. Aku menangisi jenazah
kakak. Aku cukup sulit untuk memegang tubuhnya. Borgol yang melingkar di
tanganku cukup kuat untuk di lepas dengan tangan kosong.
“Krisna, mari.
Sudah waktunya.” Kata seorang polisi anak buah ayah, dengan nada lembut
kepadaku. Aku menghela nafas. Lalu mencium kening kakak dengan penuh sayang.
“Maafkan aku
kak,” kataku lirih pada jenazah kakak.
Aku di giring
para polisi menuju keluar rumah. Sampai di depan teras, ayah memelukku dengan
erat sekali sambil menangis. Ini pertama kalinya aku melihat ayah mengucurkan
air mata. Air mata kesatria kami.
“Yang sabar ya.
Ayah pasti akan sering mengunjungimu.” Kata ayah padaku.
“Ayah, aku
menyayangimu.” Kataku sambil menangis.
******
Kini, hanya ada
kesunyian, penyesalan dan kesedihan menjadi sahabatku. Aku kini sudah tidak
membutuhkan jawaban atas pertanyaanku pada Roni beberapa hari yang lalu.
Karena, aku sudah mengetahui jawabannya.
Tempat yang dulu
sering menjadi tempatku favoritku. Kini menjadi tempat tinggalku untuk beberapa
tahun kedepan. Waktu yang cukup lama memang. Tapi, inilah suasana PENJARA.
Selesai**Notes
First Publish @Radar Mojokerto, 27 Mei 2012
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato sesuai izin dari penulis
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected