Obrolan Warungan
Ku seruput segelas kopi panas yang
berada di depanku. Warung Bang Maji terasa sepi, karena hari baru saja di
mulai. Aku menyilangkan kaki dan duduk bersila di atas kursi bambu panjang di
depan warung Bang Maji.
“ huh. Makin aneh saja negeri ini!”,
tiba-tiba umpatan Bang Maji terdengar oleh telingaku. Aku menoleh pada Bang
Maji yang duduk di sampingku sambil membaca koran pagi.
“ Kenapa Bang?” tanyaku.
“ Ini nih!. Masak pelaku korupsi bisa dengan enaknya
liburan sambil jalan-jalan keluar negeri” kata Bang Maji sambil menunjuk judul
berita di koran tersebut.
“ Kapan sih korupsi di negeri ini bisa di basmi?”
sambungnya.
“ Ah, macam hama tanaman saja di basmi” kataku.
“ Kan memang hama. Hama uang.”
“ Kenapa Abang tidak ikut demo saja?”
“ Percuma. Pengeluaran ikut demo tidak selalu
sebanding dengan hasilnya. Belum tentu di dengar. Ngenes rasanya.” Aku hanya
mengangguk ketika mendengar jawaban Bang Maji.
Tak selang berapa lama, seorang pengendara sepeda
motor, memasuki pekarangan warung Bang Maji.
“ Hai Jo!” sapaku pada Karjo, pengendara sepeda
motor tersebut.
“ Pagi – pagi sudah ngopi kau” kata Karjo, sambil memarkir sepedanya, lalu mendekatiku.
“ Tumben kau belum berangkat bekerja?”
“ Aku sedang malas bekerja. Istriku marah – marah
saja kerjanya dari kemarin sore.”
“ Memangnya kau tak punya kertas?”
“ Kertas? Untuk apa?”
“ Untuk menyumbat mulut istrimu”
“ Ah, ada-ada saja kau ini. Kalau itu ku lakukan,
pastinya aku sudah di lempar panci olehnya” kamipun tertawa bersamaan.
“ Memangnya kenapa dia marah – marah?” tanyaku.
“ Kau ini seperti tak tahu saja. Sekarang harga BBM
di kabarkan akan naik. Harga sembako juga ikut naik. Istriku selalu marah-marah
karena uang belanjanya tetap. Panas rasanya telingaku”
“ Kenapa kau tak demo kepada pemerintah?”
“ Buat apa demo?.
Belum tentu di dengar. Mungkin mereka lebih suka mendengarkan M P3,
daripada protes masyarakat.” Aku hanya diam dan mengangguk-angguk mendengar
jawabannya. Karena, terkadang terbesit di pikiranku, bahwa, kalaupun aku yang
jadi presiden, belum tentu aku bisa mengatasi semua itu.
Hari semakin siang dan matahari semakin tersenyum.
Pengunjung warung Bang Maji semakin ramai. Kopiku terlihat sudah berkurang.
Hanya ada sedikit ampas kopi di dasar gelas. Terlihat, Bang Maji menyalakan TV
yang ada di atas meja bambu di warungnya.
“ Huh, maling negara tidak pernah selesai kasusnya”
kata Pa’i, seorang tukang becak yang kebetulan mampir di warung Bang Maji, dan
duduk di sebelahku.
“ Kenapa Bang?” tanyaku.
“ Itu, perasaan dari dulu kasus korupsi tidak pernah
usai. Yang satu belum selesai, eee.. malah ada lagi kasus lain.” Kata Pa’i
sambil memandang berita di televisi yang menyiarkan salah satu kasus korupsi.
“ Iya, dari dulu, negara ini kok tidak pernah surut
dari masalah ya?” kata Karjo.
“ Lha ya, itu namanya yang kaya makin kaya. Yang
miskin makin parah” Kata Parmin, seorang tukang kuli bangunan, sambil
menyeruput teh panasnya.
“ Masalah BBM malah tambah rumit.” Kata Andra,
seorang pegawai kantor yang mendapat tugas di kotaku, dan tinggal bersama
istrinya di desaku.
“ Kalaupun BBM jadi naik, pastinya seluruh harga
bahan-bahan pokok ikut naik harga” kata Bang Maji yang tiba-tiba keluar dari
dalam warungnya dan mengikuti pembicaraan.
“ Istriku saja dari kemarin sore marah-marah .
Gara-gara beberapa penjual itu sudah menaikkan harga” kata Karjo.
“ Ah, kalau Dik Krisna, mungkin tidak terlalu
memikirkan masalah istri marah. Kan masih belum ada pasangannya. Kalau
orang-orang kota biasanya di sebut masih jomblo.”
Kata Parmin. Aku menunduk sambil tersenyum.
“ Kalau berbicara tentang negara kita yang semakin
lama semakin tidak beres, lama-lama sepertinya saya jadi tertular tidak beres.
Pusing Bang” kataku.
“ Dik Krisna ini ada-ada saja” kata Pa’i. Kami
semuapun tertawa.
*****
Ke esokan paginya, aku berniat berbelanja ke tukang
sayur yang biasa lewat di depan rumahku. Kelihatan aneh memang, seorang lelaki
muda, berbelanja sendiri ke tukang sayur keliling. Tetapi, apa mau di kata,
rumahku sekarang jauh dari orang tua. Aku memutuskan untuk tinggal sendiri,
semenjak aku menjadi seorang penulis. Suasana tenang tepat sekali untukku.
Sebenarnya orang tuaku juga sedikit
berat untuk melepaskanku. Maklum, aku adalah anak tunggal. Ah, kenapa juga aku
ini?. Malah menceritakan diriku . sudahlah, kita kembali ke cerita.
Aku menunggu tukang sayur, sambil duduk di kursi
depan rumahku. Tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas olehku.
“ Yur..sayur.....” suara tukang sayur, seketika membuatku
langsung berdiri dari tempat duduk dan berangkat berbelanja.
Sekelompok ibu-ibu sudah berada di sekitar gerobak
tukang sayur yang berada di depan rumahku.
“ Eh, Dik Krisna mau belanja ya?” tanya seorang
ibu-ibu yang bernama Bu Pariyah kepadaku.
“ Iya Bu,” jawabku sambil tersenyum. Ketika aku
memilih-milih sayuran, suara percakapan antara Bang Ali si pedagang, dengan
Mbah Karmi terdengar oleh telingaku.
“ Ini satunya berapa Bang?” kata Mbah Karmi sambil
menunjuk salah satu daging yang di bungkus plastik.
“ Itu 25.000 satu bungkus Mbah.” Jawab Bang Ali.
“ Kok mahal?. Biasanya Cuma 20.000” jawab Mbah
Karmi.
“ Waduh Mbah, sekarang harga-harga bahan pokok itu
naik” kata Bang Ali.
“ Naik semua ya Bang?” tanyaku.
“ Iya, saya saja sebenarnya sedikit nekad ketika
membelinya.” Jawab Bang Ali.
“ Kok tiba-tiba ya Bang?”
“ Saya juga tidak tahu. Ini saja pada saat BBM di
kabarkan akan naik. Kalaupun benar-benar naik, pasti semua bahan pokok naiknya
semakin menjadi.” Aku hanya tersenyum ketika mendengar jawaban Bang Ali. Lalu
bersegera membeli apa yang ku butuhkan, dan berpamitan untuk pulang pada para
ibu-ibu di situ.
*****
Jam menunjukkan pukul 08.00 pagi. Aku berniat untuk
pergi ke warung Bang Maji. Akupun mengunci pintu rumah dan pergi ke warung.
Ketika akan sampai di waring tiba-tiba..
“ Aw!” pekikku. Sebuah batu kerikil tajam menembus
sandal yang ku pakai, dan menggores telapak kakiku hingga berdarah. Aku
mencabut batu itu dan berjalan kebali menuju ke warung Bang Maji yang kurang
beberapa meter lagi sampai.
Bang Maji terlihat duduk sendirian di kursi bambu
depan warungnya.
“Kenapa kakimu Kris?”
tanya Bang Maji ketika melihatku berjalan pincang. Aku lalu duduk di samping
Bang Maji.
“ Jalanmu seperti
nenek-nenek menginjak batu bara saja” kata Bang Maji sambil tertawa.
“ Bukan menginjak batu
bara, tetapi menginjak batu kerikil Bang!” jawabku.
“ Sebentar ya!. Aku
ambilkan obat merah dulu” kata Bang Maji, lalu pergi ke dalam warungnya.
Tak selang lama, Bang
Maji kembali sambil membawa botol obat merah kecil dan sedikit kapas, lalu
memberikannya padaku. Akupun membuka botol itu dan mengoleskannya ke kakiku
yang terluka.
“ Memang ya, jalan di
sini parah. Sudah bolong-bolong, banyak batu-batunya, kalau hujan juga licin”
kata Bang Maji.
“ Memangnya tidak pernah
ada perbaikan ya Bang?” tanyaku.
“ Sebenarnya pernah.
Tapi, yang namanya jalan pasti lama-lama akan rusak. Apalagi usianya sudah tua.
Sekitar 12 tahun yang lalu sudah di aspal. Sekarang rusak lagi.”
“ Memangnya apa tidak ada
usulan dari warga untuk di perbaiki?”
“ Kalau usulan sudah
pernah berkali-kali. Tapi belum ada kabar lagi sampai sekarang. Memang dulu
pernah mencoba memperbaiki sendiri. Tapi, namanya saja di desa terpencil,
dananya tidak mencukupi.”
“ Padahal kalau jalan
seperti ini bisa membahayakan. Apalagi kalau musim hujan seperti ini”
“ Apalah mau di kata.”
Jawab Bang Maji.
Di tengah-tengah ke
asyikan kami bercakap-cakap, tiba-tiba seorang lelaki muda, mungkin seumuran
diriku memakai seragam guru. Berjalan sambil berjoget tidak jelas di depan
warung Bang Maji. Aku memandangnya dengan heran.
“ Anak-anak! Kenapa
kalian belum masuk kelas?. Cepat masuk atau ku hukum?!” teriaknya pada beberapa
pohon pisang yang tumbuh di kebun depan warung Bang Maji. Lalu lelaki itu
berjoget-joget lagi dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Entah, dia mau
kemana. Tapi, aku tetap heran.
“ Siapa dia Bang?”
tanyaku pada Bang Maji.
“ Namanya Andre. Anak
dari salah satu perangkat desa di sini.” Jawab Bang Maji.
“ Kenapa dia?”
“ Dia begitu gara-gara
tidak lolos tes jadi PNS.”
“ Kasihan ya”
“ Iya. Padahal dulu dia
salah satu pemuda cerdas di desa ini. Dia yang selalu mengusulkan
kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan kemajuan desa. Tapi, sayangnya
dia sekarang sakit.”
“ Kata orang-orang, dia
sebenarnya lulus tes. Tapim sayangnya dia tidak cukup mampu untuk masalah uang.
Jadinya, dia tergeser oleh anak-anak para orang kaya.” Sambung Bang Maji lagi.
Miris memang ketika
mendengar kisah Andre. Dia pintar tapi tak bisa mengembangkannya. Dia terbatasi
oleh uang. Kasihan memang. Zaman memang semakin lama semakin aneh. Dimana yang
benar di salahkan dan yang salah di benarkan. Mungkin kita Cuma harus menunggu
suatu ilham yang dapat membuat dunia ini waras kembali.
Selesai
**Cuap cuap ringan
Old illustration of natives village in Java island, Indonesia. Created by De Bar and Maurand, 1960
Short Story Created on 2012
Online Publish @liwato.blogspot.com
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!