Pak Harfan
Pagi ini, ku coba datang sendiri ke tempat itu.
Dengan mobil yang ku kendarai, aku berusaha sehati-hati mungkin ketika melewati
jalan-jalan yang penuh lubang. Pastinya, istriku akan marah-marah jika
mengetahui diriku berada di tempat ini sendiri. Namun, ada sesuatu yang seperti
menarikku untuk tetap bersikeras datang kesini seorang diri, tanpa
sepengetahuan istriku.
Mobilkupun berheti di sebuah tempat, di bawah pohon
mangga besar yang rindang. Lalu, akupun memandang keluar, lewat kaca jendela
depan mobilku. Sebuah rumah kecil, menjadi tujuan pandanganku. Ya, itu rumah
biru dengan pohon kersen yang sudah sangat ku kenal. Rumah berhalaman luas yang
bertempat jauh dari tetangganya.
***
Aku mengingat kembali masa lalu. Dulu, beliau sering
masuk ke kelasku dengan tergopoh-gopoh. Lalu, membuat suara gaduh di mejanya.
‘Bruk’. Suara itu nyaring. Setumpuk buku tugas kami,
beliau letakkan di atas meja. Dan menyuruh salah satu dari kami membagikan
buku-buku itu.
“Kenapa sih, beliau selalu datang dengan
keributan?.” Bisik Bejo, teman satu bangkuku.
“Ah, biarkan saja. Lagipula, itu berarti pertanda
bahwa beliau benar-benar Pak Harfan. Bukan yang lain.” Komentarku.
“Tapi, kacamatanya itu. Aduh, kayak gimana gitu” Nada bicara Bejo menjadi berubah tatkala melihat
kacamata Pak Harfan berkali-kali melorot dari tempatnya. Akupun terkikik kecil.
Penampilan beliau memang sering kali membuat para
siswa tertawa. Dan akhirnya menjadi bahan pembicaraan lucu di kelas.
“Man, tolong ambilkan buku paket TIK saya di Bu
Arfi.” Tiba-tiba, sebuah tepukan di pundakku, di ikuti sebuah suara,
mengagetkanku. Aku menoleh. Itu suara Pak Harfan.
“Eh, baik, Pak.” Jawabku, lalu berdiri.
“Tapi, Bu Arfi sekarang dimana, Pak?” tanyaku
sebelum pergi. Tapi, beliau malah terdiam, lalu berpikir sejenak.
“Nah, itu masalahnya. Saya juga tidak tahu.” Jawab
beliau. Aku mengerutkan kening.
“Kamu cari sendiri saja ya,” sambung Pak Harfan.
“Aduh, mati aku,” batinku dalam hati. Lalu, tanpa
menjawab, langsung saja aku menuju keluar kelas untuk mencari Bu Arfi.
Sejujurnya, bingung juga diriku harus mencari Bu
Arfi kemana. Akhirnya, akupun memutuskan untuk ke perpustakaan, tempat biasanya
Bu Arfi berada, sebelum jam beliau mengajar. Maklum, beliau adalah guru Bahasa
Indonesia.
Setelah sampai di perpustakaan, akupun bertanya pada
petugas di situ. Namun, beliau mengatakan sama sekali tidak berjumpa dengan Bu
Arfi hari ini. Akhirnya, akupun berjalan
keluar perpustakaan dengan kecewa.
Dan kuputuskan untuk menuju Kantor guru. Namun,
suasana di kantor sangat sepi, dan tidak ada satupun guru berada di sana. Dan
dengan terpaksa ku susuri satu persatu kelas, dan bertanya pada setiap guru.
Namun, jawaban mereka hampir sama, “Maaf Man, Seharian ini saya tak bertemu Bu
Arfi sama sekali”.
Akhirnya, akupun berjalan kembali kekelasku dengan
kecewa campur lelah, setelah berputar-putar hampir di seluruh wilayah
sekolahku.
“Maaf Pak, saya tidak bisa menemukan Bu Arfi,”
kataku pada Pak Harfan. Pak Harfan terdiam, seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Ah, iya Man, saya lupa.” Kata beliau dengan
tiba-tiba. Aku hanya mengerutkan kening tanda tak mengerti.
“Bu Arfi tadi pagi SMS pada saya, bahwa beliau
sedang sakit dan tak bisa berangkat mengajar,” lanjut beliau sambil tertawa.
“Apa?” tanyaku tak percaya. Aku berputar-putar
mencari Bu Arfi dari tadi. Dan sekarang, Pak Harfan mengatakan hal yang sangat
konyol. Jengkel, dongkol, marah, seakan bercampur jadi satu.
“Iya, maaf. Silahkan kamu duduk kembali di
bangkumu,” kata beliau. Akupun berbalik dan menuju ke bangkuku dengan perasaan
yang campur aduk. Namun, aku memilih untuk diam dan menyimpannya.
***
Tertawa sendiri aku mengingat peristiwa konyol itu.
Lalu, akupun membuka sedikit jendela mobilku, dan mengambil Sebatang rokok dari
kotak yang berada di belakang setir mobilku. Lalu, akupun menyalakannya, dan
menghisapnya dalam-dalam.
***
Pernah suatu kali, ketika aku dan Bejo berkunjung ke
rumah Pak Harfan. Beliau sedang menggendong anaknya. Yang satu di gendong di
sebelah kanan, dan yang satunya di gendong di sebelah kiri. Ya, beliau
mempunyai dua putri kembar.
“Enak, punya anak kembar itu bisa meramaikan rumah,”
kata beliau, suatu kali ketika beliau ku tanya apa enaknya punya anak kembar.
“Ada buku baru, Man,” kata Pak Harfan memberi
tahuku. Maklum, rumah beliau memang sudah seperti perpustakaan. Dan, hampir
setiap hari ada saja muridnya yang berkunjung ke rumahnya, untuk meminjam
koleksi-koleksi bukunya,
“Aku kemarin membelinya ketika ada diskon
besar-besaran di toko buku,” sambungnya sambil memberikan sebuah novel.
“Oh, Terimakasih, Pak,” jawabku sambil menerimanya.
“Karangan Andrea Hirata, Pak,” kataku.
“Bukankah ia penulis favoritmu?”
“Ya, tentu saja.”
“Pinjamlah. Kalau sudah selesai, jangan lupa di
kembalikan,” Kata Pak Harfan.
Beberapa hari kemudian aku mengembalikan novel yang
ku pinjam. Namun, kali ini aku berangkat sendiri ke rumah Pak Harfan. Dengan
mengendarai sepeda ontel butut yang ku miliki.
Sesampainya di depan rumah Pak Harfan, aku melihat
beliau sedang kebingungan momong
kedua putrinya. Keduanya menangis bersamaan. Akupun memarkir sepedaku di bawah
pohon kersen di depan rumah beliau.
“Assalamu’alaikum,” sahutku.
“Oh, Wa’alaikum salam, Man.”
“Tumben mereka menangis, Pak,” kataku.
“Iya, mereka minta buah Keres. Sedangkan saya tak
bisa memanjat.” Kata beliau sambil terus mencoba menenangkan kedua bayinya.
“Biar saya panjatkan, Pak,” tawarku merasa tak tega
melihat beliau kebingungan.
“Kamu bisa Man?”
Akupun memanjat pohon kersen, dan mencari buahnya.
Hampir berkali-kali aku terjatuh dari atas pohon, karena banyak semut-semut
merah yang menggigit kakiku. Setelah mendapatkan satu genggam, akhirnya aku
turun dengan tergesa-gesa.
“Ini, Pak,” akupun memberikannya pada Pak Harfan.
Beliaupun menerimanya dengan tersenyum. Dan memberikannya pada kedua putrinya.
Namun, sebuah perkataan dari salah satu putrinya sempat membuatku kesal.
“Ah, Mau lagi!. Ini sedikit!” katanya.
“Aduh, Jangan minta yang aneh-aneh, nak. Ini kan
sudah banyak.” Kata Pak Harfan pada putrinya.
“Nggak mau!. Pokonya cari lagi!”
“Mas Paiman-kan juga capek.” Kata beliau. Namun,
akhirnya kedua putrinya menangis semakin keras.
“Ah, biar saya carikan lagi saja, Pak,” tawarku
dengan terpaksa, ketika mendengar tangis kedua putrinya. Aku yang merasa tak
enakpun akhirnya memanjat dengan sedikit dongkol.
Ketika sudah di atas, sebuah gigitan semut membuat
keseimbanganku tak stabil. Dan akhirnya,
‘BRUK!’ kali ini, bukan suara buku Pak Harfan yang
di letakkan di atas meja, melainkan aku yang terjatuh dengan sukses dari atas
pohon kersen. Dan meringis kesakitan. Lututku berdarah. Pak Harfan-pun langsung
menolongku, dan membantuku berjalan menuju emperan rumahnya. Dan mencari obat
untuk lututku.
“Aduh, Man. Maafkan bapak ya, gara-gara putri bapak,
kamu jadi terjatuh.” Kata Pak Harfan sambil mengobati lututku.
“Ah, Tak apa-apa, Pak, maklum anak-anak.” Jawabku
berusaha menutupi kejengkelan dan kesakitan.
Setelah selesai mengobati kakiku, beliaupun
mengambilkanku minuman es teh. Lalu menyuruhku meminumnya. Biar tak kaget,
katanya.
“Ngomong-ngomong, ada apa kamu kesini, Man?” tanya
Pak Harfan.
“Saya hendak mengembalikan novel, Pak,” kataku.
“Oh, itu. Sudah selesai kamu baca, Man?”
“Tentu saja, Pak. Apalagi ini karya Andrea Hirata.
Kapan-kapan, kalau saya punya uang, saya ingin membeli sendiri, Pak.”
“Lho, kamu belum punya satupun novel karangannya
tho?” tanya Pak Harfan heran. Akupun menggeleng.
“Kalau begitu, kamu simpan saja novel ini. Saya juga
sudah selesai membacanya kok. Lagipula, bukankah ia penulis favoritmu?” kata
beliau lagi.
“Novel ini untuk saya, Pak?” Akupun memandang tak
percaya.
“Ya, ambillah.” Kata beliau sambil tersenyum. Akupun
memandangi sampul novel itu. Senang rasanya, ternyata, rasa sakitku akibat
terjatuh, terbayar sudah dengan kegembiraan menerima novel karya penulis
favoritku. Dari Pak Harfan, dengan GRATIS.
***
Tersenyum sendiri aku, ketika melihat novel yang
berada di kursi jok depan sampingku. Akupun mengambilnya, dan mengamatinya
lekat-lekat. Sebuah novel pertama yang ku miliki.
***
Suatu pagi, aku sudah berada di ruang tamu rumah Pak
Harfan. Beliau meminum kopi panas yang di sediakan istrinya. Dan aku hanya
mengaduk-aduk kopi susu yang beliau sajikan untukku. Akupun akhirnya
mengalihkan pandanganku menyelusuri tiap sudut tembok ruang tamu Pak Harfan.
Ada sebuah lukisan di sebelah jam dinding. Lukisan seorang wanita yang
tersenyum misterius. Dengan wajah datar. Dan di belakang wanita itu, ada
seorang laki-laki berjas hitam, tersenyum pongah penuh kebanggaan. Lukisan yang
terlihat begitu artistik. Lalu, di sebelah lukisan itu, ada sesuatu yang belum
pernah ku temui sebelumnya di ruang tamu Pak Harfan. Belasan kertas koran yang
terlihat di tempel berjajar rapi. Dengan di lapisi pastik mika.
Akupun penasaran dan berdiri, lalu mendekati
koran-koran itu. Ku lihat satu persatu. Ada nama media massa yang berbeda-beda
di setiap lembarnya. Dengan nama rubrik yang berbeda-beda. Dan akhirnya akupun
menyadari bahwa intinya, walaupun nama rubriknya berbeda, tetapi tetap memuat
satu jenis karya tulis. Itu cerpen. Dan di setiap cerpen selalu ada sebuah
tulisan, ‘Oleh : A. Harfan Efendi’ ya, itu nama Pak Harfan.
Pak Harfan membiarkan gerak-gerikku dan hanya
tersenyum. Aku menoleh pada beliau.
“Apa ini semua cerpen bapak?” tanyaku. Beliau
mengangguk dengan tersenyum. Akupun menghampiri beliau dan duduk di tempatku
semula.
“Kau terkejut, Man?” tanya beliau.
“Ya, tentu saja.”
“Aku memang suka menulis, sepertimu. Dan daripada
aku harus menumpuknya sia-sia, akhirnya ku kirimkan cerpen-cerpen itu.”
“Apa saya juga bisa seperti itu?”
“Ya, kenapa tidak?. Mungkin memang awalnya sulit.
Tapi lama-lama juga tidak.”
“Kau, lihatlah lukisan itu,” kata beliau menunjuk
lukisan yang ku lihat tadi.
“Hidup itu selalu berbeda. Tinggal kau yang
memutuskan sendiri, ingin yang bagaimana. Ingin seperti wanita itu, atau pria
di belakangnya.” Sambung beliau. Aku terdiam tak mengerti. Lalu, beliaupun
melanjutkan pembicaraannya.
“Wanita itu, tersenyum setengah bersedih. Itu
menandakan bahwa kesuksesannya berawal dengan kesulitan. Dan pria yang berada
di belakangnya itu, tersenyum pongah penuh kemenangan. Itu menandakan bahwa
kesuksesannya tanpa di awali kesulitan. Sekarang tinggal kau saja yang memilih
sendiri. Ingin yang seperti apa.”
***
Aku membuka halaman terakhir dari novel yang ku
genggam. Ada sebuah tulisan yang sudah sangat ku kenali.
‘Hidup itu, terserah kau yang memilih. Ingin hidup
susah lalu sukses, atau dari awal sukses, dan berakhir sukses.’
Aku tersenyum melihatnya. Ya, itu tulisan Pak
Harfan.
“Aku memilih keduannya, Pak” gumamku.
Puluhan kali karyaku memang di tolak oleh puluhan
media massa. Namun, aku tetap bertekad untuk menulis karya yang lebih baik
lagi. Tahun lalu aku telah menyelesaikan
kuliah jurusan sastra Bahasa Indonesiaku. Dan akhirnya, beberapa kali tulisanku
telah di muat di berbagai media massa, dan beberapa novelku telah di terbitkan.
Namun, awal tahun ini, aku mendapat penawaran
bekerja di sebuah perusahaan. Sudah beberapa kali aku memimpin jalannya proyek
yang di lakukan oleh perusahaanku. Dan kali ini akan melakukan proyek besar,
membangun sebuah pusat perbelanjaan di lokasi yang sebelumnya tek ernah
terfikirkan olehku. Gajinyapun lumayan besar, tanpa harus menegeluarkan banyak
pikiran dan tenanga. Aku hanya perlu menandatangani surat-surat perjanjian dan
mengawasi jalan proyek yang akan ku pimpin.
Tujuan proyekku selanjutnya adalah rumah biru yang
di tumbuhi pohon kersen ranum di depan sana, dan beberapa rumah lain di sekitar
situ.
Dan hingga kini, aku masih belum bisa mengetahui
bagaimana caranya aku harus mengucapkan terima kasih dan kata maaf sekaligus
pada Pak Harfan.
(untuk guruku yang selalu ku ingat dalam setiap
karyaku)
Mojokerto, 21 Oktober, 2012
**Cuap cuap ringan
Created on 2012
Online Publish @liwato.blogspot.com
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!