Anak Sapi
oleh (mifthaakbie)
“Hei Jo!” sapaku pada Bejo yang pagi ini kebetulan
lewat depan rumahku.
“Oh, hai juga Man!” jawabnya. Lalu, berbelok menuju
pekarangan rumahku. “Pagi-pagi
sudah santai kau.”
“Iya, mumpung sedang libur kerja. Lumayan, bisa
nemenin istri di rumah sambil ngopi. Hehehe.” Jawabku setengah bergurau.
Bejopun ikut duduk di sampingku.
Kami sering mengobrol maupun sekedar duduk diam
bersama-sama didepan rumahku pada hari libur.
Bejo adalah salah satu tetangga satu dusunku yang
rumahnya lumayan berjarak jauh dari rumahku. Ia adalah salah satu buruh
serabutan dari puluhan warga yang bekerja serabutan di kampung kami. Genting
bocor, kerbau lepas, bahkan permintaan warga untuk mengambil beberapa buah
kelapa dari pohonnya sudah menjadi pekerjaan yang biasa bagi Bejo. Ia sering
mondar-mandir beberapa kali didepan rumahku karena jasa yang diberikannya pada
warga sekitar mendapat banyak permintaan. Terkadang aku sering membandingkan
Bejo dengan para sales yang menawarkan jasa apa saja di kota-kota besar seperti
yang kulihat di televisi.
“Enak ya, bisa bekerja di bengkel milik Haji Maji.
Kerjanya hanya membetulkan motor dan mobil rusak. Kalau liburpun, bisa seharian
di rumah.”
“Enak sih memang iya. Tapi, kalupun salah kerjanya
ya potong gaji.” Kataku.
“Ah, kenapa juga kita malah membicarakan tentang
bengkel?”
“Lho, kan kamu sendiri yang memulainya.” Aku jadi
bingung arah pembicaraan apa yang ingin dibahas oleh Bejo.
“Sudahlah. Lagipula, hari ini aku sedang gembira” wajahnya
terlihat sumringah dan antusias ingin menceritakannya padaku.
“Gembira?”
“Iya. Kemarin rabu, ada salah satu temanku yang
berkunjung ke rumahku. Ia terlihat lebih sukses dari dulu. Lalu, karena ia
kasihan padaku karena pengangguran, akhirnya ia bersedia menolongku dengan
memberiku seekor anak sapi. Dan, kemarin, anak sapi itu di antarkan ke
rumahku.”
“Beruntung sekali kau Jo.”
“Iya. Tapi, ada masalahnya.” Ia
menggaruk sebelah kepalanya.
“Sudah dapat sapi kok masih pakai masalah-masalah?”
“Aku tak bisa merawat anak sapi itu sendirian.
Karena, tak mungkin aku yang masih bujang ini merawatnya tanpa teman. Dulu sih
kalau masih ada emak dan bapak, tak jadi masalah. Sedangkan kini, aku hidup
sendiri.”
“Lalu, mau kau jual?. Jika kau jual sekarang, pasti
rugi Jo. Kalau sudah agak besar, untungnya pasti juga besar.”
“Iya. Dan aku mempunyai sebuah ide”
“Ah, macam orang penting saja kau.”
“Aku sungguh-sungguh Man”
“Jadi?”
“Aku ingin
mengajakmu merawat anak sapi itu bersama-sama”
“Apa?. Kau mau aku berhenti
bekerja di bengkel?. Ah, rawat saja sendiri. Sudah gila apa?” sahutku
tidak setuju.
“Bukan begitu. Maksudku, kita bergiliran jika
menjaganya. Aku akan angon jam 7 pagi
sampai kau pulang kerja jam 12. Dan, setelah itu kau menggantikanku hingga jam
5 sore.”
“Kalau malam memangnya mau kau lempar ke sungai?”
“Bukan begitu. Jika malam, kita bisa bergantian
menginapkannya di rumah kita masing-masing. Misalnya, tiga malam di rumahku,
dan tiga malam di rumahmu. Kita bisa mengikatnya di samping rumah kita.
Pekarangan rumahmu kan sudah ada pohon mangga. Ikat saja dia di situ.”
“Lalu, hasilnya?”
“Kita bagi rata setelah ia besar. Untung-untung jika
dia melahirkan seekor anak sapi lagi.”
“Dia betina Jo?” aku mulai ikut antusias
dengan ceritanya.
“Tidak. Hehehe.” Ia menggaruk kepalanya
lagi.
“Lalu bagaimana bisa melahirkan anak sapi?”
“Oh, iya, aku lupa. Pokoknya, hasilnya kita bagi
rata.”
“Baiklah. Besok, anak sapi itu kau bawa kesini.”
“Oke, kita sepakat.”. Kamipun berjabat tangan, lalu
menyepakati keputusan itu.
Esok sorenya, ketika aku mencuci sepeda motor di
halaman rumah, tiba-tiba sebuah suara lonceng
membuatku menghentikan kegiatanku, dan mencari
sumber suara itu.
‘Moo..’. aku menoleh ke arah suara kedua itu. Bejo terlihat panik dan
kewalahan ketika
memegang tali yang mengikat leher sapi kecil itu. Dia panik sekali, hingga
akupun menahan tawa.
“Hahaha. Panik sekali wajahmu Jo!” teriakku padanya.
Dia tak terlalu menggubris omonganku, karena sibuk dengan sapi kecil yang terus
bergerak di dekatnya. Dengan perlahan ia memaksa binatang itu untuk
menurutinya berjalan ke arahku.
“Ah, dia tak bisa diam Man.” Katanya dengan nafas
tersenggal-senggal. Lalu, mengikat tali sapi kecil itu di batang pohon mangga
depan rumahku.
“Aku hampir gila mengurusi dia dari pagi. Rasanya
seperti olahraga sepanjang hari.” Sambungnya.
“Ah, diakan memang belum terbiasa,” akupun
meletakkan kain dan spons yang kugunakan untuk mengelap dan mencuci motorku
tadi di atas jok motorku.
“Umur berapa Jo?” tanyaku.
“Kira-kira sekitar satu tahun setengah.”
“Merepotkan ya?”
“Sangat. Dan aku sudah sangat kuwalahan. Sore ini,
giliranmu menjaganya ya. Ku bantu dengan do’a. Hehehe.” Ia berkatasambil
tersenyum jail. Lalu, iapun pergi pulang tanpa menunggu komentarku selanjutnya.
Kini tinggallah aku dan anak sapi itu. Aku mencoba
mengamatinya, lalu mendekatinya. Rasanya mengerikan jika membayangkan apa yang
di katakan Bejo padaku tentang anak sapi ini.
“Oke, sekarang hanya ada kau dan aku. Jadi, ku mohon
dengan sangat, jangan menyerudukku ya. Istriku bisa marah jika tahu jika aku di
seruduk seekor anak sapi.” Kataku padanya. Ia memandangku dengan aneh. Ku coba
memberanikan diri untuk mengelus kepalanya. Tapi, ia malah menjilati tanganku.
“Hei!. Apakah itu berarti kau menyukaiku?”
‘Moo’ sahutnya.
“Oke, sekarang, siapa namamu?”
‘Moo’
“Paijo, supraja, aming, ariel?. Atau siapa?”
‘Moo’ ia kelihatan tak menyukainya.
“Baiklah, mungkin kau ingin nama yang lebih keren.
Coba ku pikir.” Akupun terdiam lama sambil berpikir.
“Aha!. Bagaimana jika Alex?. Cukup keren kan?”
‘Mooooo’ ia terlihat senang.
“Nah Alex, berarti sekarang waktunya kita mencari
rumput untukmu. Ayo ke padang rumput. Lets go!”. Akupun melepas tali yang
mengikatnya pada pohon mangga. Bayangan mengerikan tentangnya, akhirnya sirna,
berganti dengan sesuatu yang menyenangkan.
Sejak saat itu, kesepakatan yang ku buat bersama
Bejo, kami jalani dengan gembira. Pagi sampai aku pulang siang, Bejolah yang
menjaga si ‘Alex’. Dari siang sampai sore, akulah yang menggantikannya. Kini,
Bejo sudah tak sepanik dulu dalam merawat Alex. Ia sekarang terlihat lebih
akrab dengan Alex, sama sepertiku. Terkadang, ia juga meminta agar Alex di
inapkan di rumahnya untuk waktu yang lebih lama, walaupun sudah habis jatah
tiga hari untuk Alex menginap di rumahnya. Akupun mengijinkannya, karena, aku
mengerti, bahwa Bejo hidup sendiri tanpa teman di rumahnya. Aku dan Bejo sangat
menyayangi Alex. Diaternyata tidak terlalu susah untuk di atur. Malah, jika aku
sudah lelah, aku sering pulang pergi dari rumah ke padang rumput sambil
menaikinya. Istrikupun juga senang atas hadirnya Alex. Karena ia juga dapat
membantu untuk memakan rumput-rumput liar yang sering tumbuh di sekitar
rumahku. Alex sudah bagaikan teman dan bagian keluarga kami.
Tapi, sayangnya, aku dan Bejo tak segera menyadari bahwa seiringhari
berlalu, Alex semakin dewasa. Dan sudah waktunya untuk kawin ataupun di jual.
“Man, si Alex nggak mau makan dari tadi siang.” Kata
Bejo.
“Iya ya, aku juga bingung. Tadi malah aku hampir di
seruduk gara-gara maksa dia untuk makan” sahutku.
“Aku pusing mikirinnya.”
Akupun memandang Alex yang sedang berada di padang
rumput tak jauh dari tempatku dan Bejo duduk menungguinya. Ia akhie-akhir ini
memang tak terlalu nafsu untuk makan. Padahal, jika ia tak makan, maka daya
tahan tubuhnya pasti akan menurun.
“Eh Man, sebenarnya aku mempunyai sebuah usul. Tapi,
aku takut kau tak menyetujuinya.” Kata Bejo tiba-tiba membicarakan hal lain.
Akupun penasaran.
“Usulan?”
“Ya”
“Apa usulmu?”
“Apakah kau tak menyadari bahwa Alex semakin
dewasa?.”
“Apa maksudmu?”
“Bukankah sudah waktunya ia kawin?”. Akupun terkaget
mendengar kata-kata Bejo.
“Lalu, mau kita kawinkan dengan sapi siapa?. Di sini
tak ada yang memiliki sapi kecuali kita.”
“Hemm. Benar juga.”. Kamipun terdiam dan memikirkan
keputusan yang tepat.
“Aha!” tiba-tiba suara Bejo mengagetkan lamunanku.
“Aku punya ide.” Sambungnya dengan wajah
berbinar-binar.
“Apa idemu?”
“Aku sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta.”
“Lalu apa hubungannya dengan masalah kita?”
“Aku butuh biaya untuk ke Jakarta. Dan tak mungkin
kau merawatnya sendirian. Lagipula, bukankah uang hasil penjualannya bisa kita
bagi rata?”
“Apa maksudmu kau berencana menjual Alex?”
“Ya.”
“Apa tak ada jalan lain?”
“Menurutku tidak. Tapi, apakah kau punya gagasan
yang lebih baik?”
“Tidak juga”
“Baiklah, kalau begitu kita jual dia. Setuju?”. Aku
ragu ingin mengatakan iya. Tapi mau bagaimana lagi.
“Baiklah. Setuju!” jawabku.
“Kapan kita menjualnya?”
“Secepatnya. Besok juga bisa”
Kamipun
berjabat tangan menandakan sepakat. Aku membayangkan hari-hariku tanpa Alex
setelah ia di jual. Bahagiakah aku?. Atau malah sebaliknya?. Lalu, siapa yang
akan membersihn kan dan memakan rumput-rumput liar di pekarang rumahku?.
Akankah istriku yang akan menyuruhku memakannya sampai habis?. Ah, puluhan
pikiran konyol mulai hinggap di benakku.
“Man!” kata Bejo saat melihatku melamun.
“Oh, ya.”
“Malam ini jatah Alex di letakkan di rumahku kan?”
tanya Bejo tiba-tiba.
“Ya. Tapi, aku ingin dia berada di rumahku sebelum
kita benar-benar berpisah dengannya”
“Aku juga ingin dia bersamaku!. Memangnya hanya kau
saja yang menginginkannya?”
“Hei!. Kenapa nada bicaramu meninggi?. Toh, kau juga
sering meminta agar Alex di letakkan di rumahmu walaupun sudah habis jatahmu.
Dan jika sekarang aku memintanya, berarti itu adil-adil saja!”
“Tapi sekarang kondisinya lain”
“Kau keras kepala!”
“Kau egois!”. Akupun terdiam dengan emosiku yang
meluap-luap. Aku tak ingin terjadi keributan. Apalagi di padang rumput ini,
dengan sahabatku sendiri.
“Terserah!. Percuma aku meladeni omonganmu!”. Akupun
pergi pulang meninggalkannya.
****
“Parman!. Dasar penipu kau!”. Tiba-tiba suara
teriakan yang bercampur makian terdengar keras dari teras rumahku. Seketika aku
dan istriku terbangun dari tidur.
“Jam berapa ini Mas?” tanya istriku setengah sadar.
“Masih jam setengah enam Dik.” Jawabku sambil
meluhat jam dinding.
“Parman!. Keluar kau!” teriakan itu
terdengar lebih keras.
“Siapa itu Mas?” tanya istriku sambil ketakutan. Aku
tak segera menjawabnya. Melainkan turun dari tempat tidur, lalu merapikan
diriku seadanya, dan pergi keluar rumah menuju sumber suara itu. Istriku
mengikutiku dari belakang dengan rasa takut.
Bejo terlihat sudah berada di depan pagar teras
rumahku yang terkunci. Puluhan orang mengelilinginya dan sebagian mencoba
mencegahnya. Wajah Bejo terlihat garang dan menakutkan. Dengan celurit di
tangannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku.
“Parman! Ku penggal kepalamu!” teriakannya membuat
istriku semakin ketakutan dan memelukku. Aku yang tak tahu menahu tentang
penyebab kemarahannya tidak sedikitpun merasa takut.
Aku mencoba menghampirinya, tetapi, sebuah tangan
memegang pundakku, berusaha menghentikanku. Aku menoleh. Pak Lurah terlihat
panik dan mencegahku.
“Jangan kesana Man, jika kau tak ingin kehilangan
kepalamu.” Pak Lurah berkata dengan tegas.
“Kenapa Bejo Pak?”
tanyaku. Belum sempat Pak Lurah menjawab, tiba-tiba,
‘Clep’ , sebuah clurit menancap di tanah, tepat di
depanku berdiri bersama Pak Lurah. Seketika itu juga, aku menjadi merinding
melihat celurit itu menancap di tanah. Mengerikan rasanya membayangkan benda
itu mendarat tepat di atas kepalaku. Aku bergidik melihatnya.
“Alhamdulillah.” Ucap Pak Lurah ketika mengetahui
celurit itu meleset.
“Alhamdulillah.” Ucapku juga kemudian.
Tak berapa lama kemudian, suara sebuah mobil
ambulans meraung-raung mendekati lokasi Bejo mengamuk. Beberapa orang berbaju
putih turun dari ambulans, lalu berusaha menenangkan Bejo yang tak
henti-hentinya mengamuk dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan berusaha
menjebolkan pagar besi rumahku. Ia meronta tatkala orang-orang berbaju putih
itu berusaha membawanya ikut bersama mereka. Tapi, itu satu hal yang
berlangsung cukup lama. Hingga pada akhirnya, aku tak tahu apa yang di lakukan
mereka terhadap Bejo, tetapi, Bejopun akhirnya pingsan. Merekapun membawa Bejo
masuk ambulans dan pergi meninggalkan tempat.
Aku masih tercengan di samping Pak Lurah melihat
kejadian itu. Beribu tanda tanya berputar-putar di kepalaku. Lalu, Pak Lurah mengajakku
masuk kedalam rumah. Sedangkan masih banyak warga yang berada di luar pagar
rumahku sedang membicarakan hal itu.
“Ada apa ini Pak? Kenapa Bejo?” tanyaku memberanikan
diri membuka pembicaraan.
“Jangan terlalu panik. Tenangkan dirimu” kata Pak Lurah.
Pak Lurahpun duduk di kursi ruang tamuku dan bercerita panjang lebar.
Ternyata, pagi ini Bejo mengamuk lantaran menuduhku
mencuri Alex dari rumahnya. Menurut beberapa warga yang semalam ronda, ada 3
orang laki-laki sedang menyeret seekor sapi jantan yang terlihat tak mau
menurut untuk berjalan tengan malam tadi. Para petugas ronda membiarkan hal
itu, karena seorang dari 3 laki-laki itu sempat berkata bahwa mereka
mendapatkan hadiah seekor sapi setelah mengikuti sebuah kompetisi. Dan,
akhirnya para petugas rondapun membiarkan mereka bertiga lewat.
Tapi, pagi ini ternyata Bejo menanyai seluruh warga
kampung tentang Alex yang tiba-tiba tak ada di rumahnya. Sebagian warga mengaku
tak mengetahui ataupun melihat Alex. Hingga pada akhirnya para petugas ronda
yang semalam bertugas, mendengar hal itu. Merekapun hendak memberi tahu Bejo
tentang 3 lelaki yang menyeret paksa seekor sapi semalam. Karena mereka yakin,
bahwa ciri-ciri alex sama persis dengan sapi yang mereka lihat semalam.
Entah mengapa, belum sempat orang-orang memberi tahu
Bejo tentang kejadian semalam, Bejo sudah berada di depan pagar rumahku sambil
berteriak-teriak mengamuk dengan membawa celurit. Beberapa orang warga berusaha
menenangkannya. Dan untuk beberapa saat, ia tenang dan mendengarkan penuturan
dari salah seorang petugas ronda semalam. Tapi anehnya, ia tiba-tiba tertawa,
lalu menangis, dan mengamuk kembali. Wargapun menjadi bingung karenanya.
“Lalu, bagaimana Pak Lurah bisa masuk ke pekarangan
rumah saya?. Bukankah rumah saya di kelilingi oleh pagar tembok?.” Tanyaku
kemudian.
“Jika Dik Parman saya beri tahu, pasti akan tertawa.
Saya tadi kebingungan mencari jalan masuk. Akhirnya saya nekad minta tolong Pak
Carik untuk membantu saya memanjat pagar belakang rumah sampeyan.” Jawab Pak
Lurah. Akupun tersenyum ketika membayangkan Pak Lurah bersusah payah memanjat
pagar rumahku yang tinggi di bantu oleh Pak Carik.
“Lalu, kenapa Bejo di bawa ambulans?”
“Ia di duga gila setelah mendengar kabar bahwa
sapinya hilang. Akhirnya Wak Amin menelepon RSJ terdekat”.
****
Mentari sudah tersenyum. Istriku terlihat telah rapi
dan siap berangkat.
“Ayo Mas. Nanti biar tak kepanasan.” Katanya. Akupun
menurutinya, lalu mengeluarkan sepeda motorku keluar rumah. Setelah mengunci
rumah, kamipun berangkat.
Ku berhentikan dan ku parkirkan sepeda motorku di
tempat parkir. Ya, tujuan kami adalah salah satu RSJ yang berada di kotaku.
Akupun mengajak istriku masuk kedalam.
Salah seorang perawat mengantarkan kami untuk
menemui sesorang. Orang yang kami tuju sedang duduk sambil melamun di sebuah
bangu panjang. Ia melihat lalu lalang para penghuni RSJ yang berperilaku sesuka
hati mereka.
“Silahkan. Saya tinggal dulu ya,”. Perawat itu
berkata padaku dengan ramah, lalu pergi dengan sopan. Aku dan istrikupun
mendekato orang itu. Ia tak lain adalah Bejo.
“Jo,” panggil istriku padanya dengan pelan. Bejo
lalu menoleh. Akupun tersenyum padanya.
“Bagaimana kabar Alex, Man?” tanya Bejo dengan
pandangan sayu.
“Tenang saja. Ia tetap sehat seperti biasanya Jo.”
Selesai
**Cuap cuap ringan
Created on 2012
Online Publish @liwato.blogspot.com
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
Thanks for sharing.
BalasHapus