TITANIUM
Aku berdiri dari tempatku duduk.
Lalu mengambil bungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Mengambil isinya
satu, dan menyalakannya.
Ku pandangi seluruh sudut-sudut
kamarku. Sambil sesekali menghembuskan asap-asap tipis rokokku. Udara di
sekitarku menjadi lebih dingin dari yang terakhir kali ku rasakan.
Kamarku
laksana kapal karam. Berantakan. Penuh pecahan kaca di sana-sini. Terlihat
sangat kacau untuk ukuran sebuah kamar yang berantakan.
Sunyi
sepi. Hanya terdengar suara jangkrik yang beberapa terdengar timbul tenggelam.
Aku terdiam sesaat. Lalu melirik meja di sebelahku.
Berpikir sebentar, lalu ku tendang meja itu hingga terbalik dan menimbulkan
bunyi gebrakan yang lumayan memecah kesunyian dan dinginnya malam ini. Ku hirup
sekali lagi rokokku dan berjalan menuju ruang tamu.
Sepertinya, ruang tamuku juga tak luput dari
kekacauan yang ku buat. Pecahan kaca jendela di sana-sini. Pintu yang patah dan
lepas dari engselnya. Kipas angin gantung di langit-langit terlihat hampir
terjatuh. Menampakkan kabel-kabel tak aman yang terlihat seperti memberontak
keluar dari tempatnya. Salah satu baling-balingnya patah dan menimbulkan bekas
patahan yang cukup tajam.
Suara embusan nafas panjangku terdengar mencolok di
tengah-tengah kesunyian. Akupun duduk di atas sofa yang sudah dalam posisi
terbalik. Rasanya memang tak terlalu nyaman. Namun, ku coba untuk membuatnya
nyaman dengan sedikit paksaan. Sayangnya, tetap saja terasa tak nyaman
Ku hirup lagi rokokku dalam-dalam. Hingga ujungnya
membara merah, dan perlahan-lahan asap-asap mengelilingi kepalaku.
Ingatanku melayang, pada kejadian demi kejadian yang
ku alami.
***
Awal Maret,
Terminal kota.
Lalu lalang orang-orang
lewat puluhan kali di depanku. Ku putar-putar bungkus rokok dengan jari-jari
tangan kiriku. Ku amati seseorang di seberang jalan.
Seorang wanita berpakaian
serba biru. Tubuhnya langsing dengan leher yang jenjang. Sangat anggun. Tas
biru dengan aksen burung merak yang ia jinjing, terlihat mahal. Tak
henti-hentinya ia memandangi handphone
yang ia genggam. Sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, kelihatannya
sedang menunggu seseorang.
Ku buka bungkus rokokku.
Tinggal tersisa dua batang di dalamnya. Satu batang ku simpan di saku belakang
celana jeansku. Sisanya ku nyalakan.
Aku mendongakkan kepala, dan berdiri, berjalan menuju tempat lain.
Puluhan orang melewatiku,
hingga aku berbelok menuju gang sempit di salah-satu sudut terminal. Rokokku
tinggal sedikit. Ku hisap, lalu ku buang sisanya ke bawah.
Belum sempat puntung
rokok yang ku buang menyentuh tanah, seseorang menabrakku. Sepertinya
terburu-buru. Ia terjatuh, namun berdiri dan berlari kembali dengan panik. Tas
biru yang ia bawa, terjatuh tepat di depan kakiku. Sebuah tas wanita.
Sepertinya aku pernah melihatnya.
“Dasar, copet.” umpatku
pelan.
Dengan tetap menggerutu, aku
berjalan sambil menjinjing tas itu. Menuju pusat informasi terminal.
“Hei, Mas!” sebuah suara
panggilan menghentikan langkahku. Aku menoleh. Seorang wanita anggun berpakaian
serba biru. Ia menghampiriku dengan sedikit berlari.
Setelah tepat berada di
depanku, tanpa ku duga, ia langsung menyambar tas biru yang ku bawa. Sikapnya
tak menunnjukan rasa sungkan sedikitpun. Ia memandangku dengan sinis.
“Kalau butuh uang, jangan
begitu dong, Mas.” Sahutnya dengan suara ketus. Aku memandangnya dengan aneh.
“Ah, sudahlah. Jangan
berlagak sok bingung. Mas, kan yang menjambret tas saya?.” Aku semakin bingung
dengan tuduhannya.
“Bukan!. Saya mau membawa
tas ini ke pusat informasi.” Tuturku apa adanya.
Tanpa ku duga, ia malah
memukul wajahku dengan keras, lalu berteriak nyaring.
“Copet!.Copet!.”
Puluhan orang yang berada
di sekitar kami langsung mengarahkan pandangannya padaku.
“Ia mencoba mencopet
saya. Tapi tak mau ngaku!” sambung wanita itu.
Aku semakin bingung dalam
kepanikan itu. Sayangnya, lama, aku baru menyadari bahwa aku sedang dalam
keadaan bahaya. Aku di tuduh sebagai pencopet.
Ku putuskan untuk berlari
saja daripada menjadi sasaran amuk masa yang menyala-nyala. Namun, mereka
mengejarku. Semakin aku jauh berlari, maka semakin banyak pula yang mengejarku.
Sebagian malah membawa benda-benda sejenis pentungan. Pikiranku semakin kacau.
Nafasku tersenggal-senggal. Sialnya, kakiku malah tersandung sebuah batu di
tengah jalan. Akupun terjerembab ke tanah dengan sempurna.
Puluhan orang yang
mengejarku mengelilingiku. Wajah mereka garang. Wanita berpakaian serba biru
itu berada di tengah-tengah mereka, sambil menjinjing sepatu highheel biru yang sebelumnya ia
kenakan. Ia menatapku dengan jengkel.
“Sudah. Kita pukuli saja
ia. Biar kapok!” usul seorang bapak-bapak yang selanjutnya di ikuti dengan
anggukan atupun sahutan setuju dari yang lainnya.
Satu pukulan melayang ke
wajahku. Di susul tendangan dan tonjokan bertubi-tubi. Namun, aku hanya
membiarkan semua itu terjadi. Dengan tenang ku biarkan mereka menyalurkan
amarahnya. Percuma, sekeras apapun mereka memukulku, aku tetap tak merasakan
apa-apa. Kecuali sentuhan-sentuhan tangan biasa.
Beberapa menit berlalu.
Namun, yang awalnya tak kurasakan, kini terjadi. Terasa ada yang mengalir dari
kepalaku. Darah. Ya, Tuhan!.
“Stop, jangan teruskan!”
teriakku. Namun, mereka tetap tak perduli.
Akupun berdiri mendorong
mereka untuk mundur. Pandangan jengkel mereka berubah menjadi heran tatkala
melihatku masih baik-baik saja hampir tanpa luka, kecuali satu luka kecil di
kepalaku.
Aku mencoba meraba luka
itu. Perih. Walaupun hanya luka kecil, tapi cukup deras pula darah yang
mengalir dari sana. Ku pandangi tanganku yang berpoles darah. Lalu memandang
mereka.
“Ku mohon jangan
teruskan,”
“Ah, sudahlah. Ayo kita
hajar lagi dia!” sahut salah seorang dari mereka.
Aku hanya menghembuskan
nafas panjang, lalu menutup mata. Suara makian dan teriakan mereka semakin keras.
Pukulan dan tendangan kembali di layangkan padaku.
Darah di kepalaku semakin
banyak. Ya, hanya di kepala. Pada luka kecil itu. Namun semakin lama, semakin
ku rasakan darah itu mengalir menuju dagu, leher, menerobos di dalam bajuku,
mengalir melewati lengan, lalu menetes melalui jari tengahku.
Aku menenangkan diriku.
Mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa tak akan terjadi hal separah yang ku
bayangkan. Setetes darah menuju tanah. Aku semakin menutup rapat kedua mataku.
‘tes’, darahku menyambut
tanah yang penuh amarah dengan ringan.
Tak lama kemudian
terdengar suara gemuruh yang di ikuti teriakan panik dan kesakitan. Suara-suara
mengerikan itu terjadi sekitar dua menit. Lalu menghilang sama sekali dengan
tiba-tiba.
Aku terdiam. Nafasku
memburu. Ku kumpulkan keberanian untuk membuka mata. Perlahan tapi pasti dengan
perasaan takut dan waspada yang campur aduk.
Ingin muntah rasanya
melihat pemandangan di depanku. Darah di mana-mana. Mayat-mayat bergeletakan di
sekitarku dengan kondisi mengerikan yang tak bisa ku gambarkan.
Sebuah wajah anggun
mengalihkan perhatianku. Wajahnya utuh. Namun sayang, lengan kirinya putus.
Baju birunya hampir berwarna merah pekat di tutupi darah.
Ku ambil rokok di saku
belakang celanaku. Lalu ku nyalakan. Rasa mualku perlahan menghilang. Asap-asap
tipis yang ku timbulkan membuatku sedikit lebih tenang.
Ku dekati mayat wanita
itu. Mengamati wajahnya. Lalu jongkok di sebelahnya, supaya bisa lebih dekat
mengamati detail-detail wajahnya.
Ku hisap rokokku
perlahan. Menghembuskan asapnya ke udara.
“Dasar bodoh!” umpatku
pelan. Kemudian berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Ku injak tas biru pembuat
masalah, yang berada tak jauh dari tubuh wanita itu.
***
Ku pandangi sekelilingku. Derit kipas angin yang
sebentar lagi pasti jatuh, memecah keheningan. Ku hisap rokokku yang tinggal
separo. Lalu membuang sisanya.
Ku hampiri tombol kipas angin di dinding pojok ruang
tamu. Lalu ku tekan tombol itu. Kipas angin berputar dan memercikkan api
listrik sebentar. Kemudian jatuh dengan cukup keras di lantai.
***
Akhir Juli,
Ruang kelas X-MM2.
Beberapa siswa sedang asyik memainkan jari-jari
mereka di atas keyboard laptop. Sebagian juga ada yang sekedar bercakap-cakap.
Andreas terlihat sedang sibuk memotong-motong karet
penghapus menjadi bagian-bagian kecil, lalu melemparkan potongan-potongan itu
ke beberapa siswa lain di depannya. Sempat terjadi perkelahian kecil di selingi
tawa di antara mereka. Maklum, di sini, sebagian besar siswanya adalah
laki-laki.
Aku duduk di bangku paling pojok belakang. Sambil
sesekali mengangguk-anggukkan kepala seiring dengan musik yang mengalun dari headsheet yang ku pakai.
Keayikan kelasku terpecah tatkala sebuah suara
gebrakan bangku di depan kelas secara tiba-tiba terdengar. Samar-samar kudengar
suara umpatan dan makian mengalahkan suara MP3 yang ku dengarkan. Akupun
menoleh ke arah suara itu berasal.
Segerombolan siswa yang ku terka adalah siswa kelas
dua belas, masuk ke dalam kelasku dengan sengaja membuat keributan yang
mencolok.
Fauron, ketua kelasku yang merasa bahwa tingkah
mereka mengganggu, memarahi gerombolan itu, dan menyuruh mereka agar tak
membuat keributan. Sayangnya, ia malah di dorong salah satu dari mereka dengan
keras hingga terjatuh. Ekspresi mereka menandakan tak suka padanya.
Salah seorang dari mereka menunnjukku. Lalu
mengaba-aba gerombolannya agar mengikutinya. Merekapun menghampiriku.
Apa gerangan yang membuat mereka kesini?. Aku
semakin bertanya-tanya, dan tetap memandang setiap langkah mereka.
‘Brak’ suara gebrakan di mejaku, tak sedikitpun
membuatku terkejut.
Dengan santai, ku lepas headsheet yang tadinya ku kenakan. Lalu memandang mereka dengan
puluhan tanda tanya.
HARIANTO. Nama yang tertera di seragamnya. Tanpa
nama tengah ataupun nama belakang. Ia berdiri paling depan. Aku langsung bisa menyimpulkan bahwa
ialah yang memimpin mereka.
“Apa maksudmu heh?,” tanyanya tanpa basa-basi.
Nadanya lebih mirip seorang algojo yang siap menggantung korbannya.
“Apa masalahmu?.” Tanyaku.
“Kau kan yang mengejekku kemarin?.” Aku semakin bingung.
“Tak usah berlagak bingung. Dasar, kau adik kelas
kurang ajar!” bentakannya di iringi dengan kepalan tinju yang di layangkan ke
wajahku.
Aku terjatuh dari tempat dudukku. Ku dorong kursiku
ke depan agar aku bisa berdiri. Sekarang, aku berada tepat di depannya.
Memandangnya dengan tatapan tajam
“Aku tak ingin ada keributan di sini!” sahut Fauron
dengan nada memperingatkan.
“Dan aku tak ingin membuat masalah.” Jawabku tanpa
mengalihkan pandanganku.
“Tapi, aku yang akan membuat masalah.” Sela Harianto
sambil sedikit tersenyum kecil. Menghina.
Satu pukulan lagi di layangkan hingga aku
terjatuh. Akupun berdiri dan memukulnya
balik.
“Baiklah jika itu yang kau mau!” teriakku padanya.
Kamipun berkelahi hingga hampir semua bangku di
kelasku berantakan. Belasan siswa lain hanya menonton. Teman-teman sekelasku
hanya tertegun. Dan gerombolan Harianto terlihat semakin menyemangatinya dengan
bersorak. Sepertinya, mereka menikmati perkelahian itu.
Pukulan terakhirku ku layangkan ke perutnya. Ia
sempoyongan kebelakang, dan jatuh tertunduk dengan tubuh penuh memar. Sedangkan
aku masih tetap tenang tanpa luka sedikitpun.
“Kembalilah ke kelasmu!. Aku tak ingin ribut.”
Kataku.
Namun, ia tak menyambut saranku dengan cukup baik.
Nafasnya semakin memburu. Ketika aku lengah, sebuah tendangan keras di arahkan
ke daguku dengan tiba-tiba. Aku terhuyung ke belakang.
Gigiku copot. Dan mulutku penuh darah. Ia berdiri,
menghampiriku, lalu memukulku kembali tanpa henti dengan amarah yang
menyala-nyala.
Aku menahan agar darahku tak sampai menetes ke
lantai kelas. Namun, percuma saja. Saat ia melayangkan pukulan terakhirnya, aku
sudah tak bisa menahan darah di mulutku yang semakin banyak. Akupun
memuntahkannya.
Suara gemuruh itu datang lagi. Semakin mendekat dan
mendekat. Belasan siswa yang berada di kelasku pada saat itu bagaikan sarden
yang di kuliti. Darah di sana-sini. Mayat-mayat saling menumpuk. Kecuali satu.
Aku tak menemui mayat Fauron. Ku rasa, ia berlari menuju ruang kepala sekolah.
***
Kini, aku menjadi buronan. Polisi, keluarga,
sahabat, semua orang mencariku. Aku tak bisa hidup dengan menampakkan diri
secara langsung di depan orang-orang. Hingga akhirnya aku menemukan rumah tua ini.
Jarang ada yang memiliki cukup nyali untuk datang kesini. Mitos hantu ataupun
sejenisnya berkembang dari rumah yang di tinggalkan pemiliknya secara tiba-tiba
ini. Mereka pergi tanpa membawa satu barangpun. Tapi, ini menjadi keberuntungan
bagiku.
Ku ambil bungkus rokok di sakuku. Lalu ku nyalakan isinya satu. Aku menarik nafas panjang sebelum menghisap rokokku.
Suara sirine memecah keheningan malam yang dingin.
Beberapa cahaya lampu mencoba menerobos masuk ke rumahku. Teriakan intruksi dan
suara derap kaki terdengar sigap dan tegas.
Aku menghembuskan asap-asap tipis sambil tetap
membiarkan keributan itu. Sesekali terdengar suara teriakan perintah, yang
memerintahkanku untuk keluar.
Beberapa orang berseragam masuk kedalam ruang tamu
yang tak berpintu dan berantakan. Mereka mengarahkan senter kesana kemari untuk
lebih membantu mencariku di ruangan yang gelap ini.
Sebuah cahaya senter mengarah padaku yang sedang
berdiri dengan tenang di pojok ruangan. Salah satu dari mereka berteriak
menandakan bahwa target mereka telah di temukan.
Tak perlu waktu lama, puluhan orang berseragam itu
telah mengelilingiku. Namun, aku tetap tenang tanpa panik sedikitpun di
tengah-tengan moncong belasan senjata laras panjang yang langsung mengarah
padaku.
“Apa kau ingin mengelak?” tanya seorang petugas
dengan sedikit nada tinggi.
Aku tak menyahutinya. Ku hisap kembali rokokku.
Berusaha menikmatinya senikmat mungkin. Lalu meniupkan asap-asap tipis ke
udara.
Ku tutup mataku. Kemudian membentangkan kedua
tanganku lebar-lebar. Dengan rokok masih di tangan kiriku, aku menjadi lebih
tenang.
Suara puluhan tembakan ke arahku, memecah kesunyian.
Di ikuti dengan suara gemuruh keras yang semakin mendekat. Suara jeritan,
tangisan dan ketakutan bercampur aduk memekakan telinga.
Selesai
**Note
First Publish @Radar Mojokerto, 2013
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie
*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!