Titanium (Science Fiction Story)

0

TITANIUM

oleh (mifthaakbie)

Aku berdiri dari tempatku duduk. Lalu mengambil bungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Mengambil isinya satu, dan menyalakannya.
Ku pandangi seluruh sudut-sudut kamarku. Sambil sesekali menghembuskan asap-asap tipis rokokku. Udara di sekitarku menjadi lebih dingin dari yang terakhir kali ku rasakan.
Kamarku laksana kapal karam. Berantakan. Penuh pecahan kaca di sana-sini. Terlihat sangat kacau untuk ukuran sebuah kamar yang berantakan.
Sunyi sepi. Hanya terdengar suara jangkrik yang beberapa terdengar timbul tenggelam.
Aku terdiam sesaat. Lalu melirik meja di sebelahku. Berpikir sebentar, lalu ku tendang meja itu hingga terbalik dan menimbulkan bunyi gebrakan yang lumayan memecah kesunyian dan dinginnya malam ini. Ku hirup sekali lagi rokokku dan berjalan menuju ruang tamu.
Sepertinya, ruang tamuku juga tak luput dari kekacauan yang ku buat. Pecahan kaca jendela di sana-sini. Pintu yang patah dan lepas dari engselnya. Kipas angin gantung di langit-langit terlihat hampir terjatuh. Menampakkan kabel-kabel tak aman yang terlihat seperti memberontak keluar dari tempatnya. Salah satu baling-balingnya patah dan menimbulkan bekas patahan yang cukup tajam.
Suara embusan nafas panjangku terdengar mencolok di tengah-tengah kesunyian. Akupun duduk di atas sofa yang sudah dalam posisi terbalik. Rasanya memang tak terlalu nyaman. Namun, ku coba untuk membuatnya nyaman dengan sedikit paksaan. Sayangnya, tetap saja terasa tak nyaman
Ku hirup lagi rokokku dalam-dalam. Hingga ujungnya membara merah, dan perlahan-lahan asap-asap mengelilingi kepalaku.
Ingatanku melayang, pada kejadian demi kejadian yang ku alami.
***
Awal Maret,
Terminal kota.
Lalu lalang orang-orang lewat puluhan kali di depanku. Ku putar-putar bungkus rokok dengan jari-jari tangan kiriku. Ku amati seseorang di seberang jalan.
Seorang wanita berpakaian serba biru. Tubuhnya langsing dengan leher yang jenjang. Sangat anggun. Tas biru dengan aksen burung merak yang ia jinjing, terlihat mahal. Tak henti-hentinya ia memandangi handphone yang ia genggam. Sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, kelihatannya sedang menunggu seseorang.
Ku buka bungkus rokokku. Tinggal tersisa dua batang di dalamnya. Satu batang ku simpan di saku belakang celana jeansku. Sisanya ku nyalakan. Aku mendongakkan kepala, dan berdiri, berjalan menuju tempat lain.



Puluhan orang melewatiku, hingga aku berbelok menuju gang sempit di salah-satu sudut terminal. Rokokku tinggal sedikit. Ku hisap, lalu ku buang sisanya ke bawah.
Belum sempat puntung rokok yang ku buang menyentuh tanah, seseorang menabrakku. Sepertinya terburu-buru. Ia terjatuh, namun berdiri dan berlari kembali dengan panik. Tas biru yang ia bawa, terjatuh tepat di depan kakiku. Sebuah tas wanita. Sepertinya aku pernah melihatnya.
“Dasar, copet.” umpatku pelan.
Dengan tetap menggerutu, aku berjalan sambil menjinjing tas itu. Menuju pusat informasi terminal.
“Hei, Mas!” sebuah suara panggilan menghentikan langkahku. Aku menoleh. Seorang wanita anggun berpakaian serba biru. Ia menghampiriku dengan sedikit berlari.
Setelah tepat berada di depanku, tanpa ku duga, ia langsung menyambar tas biru yang ku bawa. Sikapnya tak menunnjukan rasa sungkan sedikitpun. Ia memandangku dengan sinis.
“Kalau butuh uang, jangan begitu dong, Mas.” Sahutnya dengan suara ketus. Aku memandangnya dengan aneh.
“Ah, sudahlah. Jangan berlagak sok bingung. Mas, kan yang menjambret tas saya?.” Aku semakin bingung dengan tuduhannya.
“Bukan!. Saya mau membawa tas ini ke pusat informasi.” Tuturku apa adanya.
Tanpa ku duga, ia malah memukul wajahku dengan keras, lalu berteriak nyaring.
“Copet!.Copet!.”
Puluhan orang yang berada di sekitar kami langsung mengarahkan pandangannya padaku.
“Ia mencoba mencopet saya. Tapi tak mau ngaku!” sambung wanita itu.
Aku semakin bingung dalam kepanikan itu. Sayangnya, lama, aku baru menyadari bahwa aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku di tuduh sebagai pencopet.


Ku putuskan untuk berlari saja daripada menjadi sasaran amuk masa yang menyala-nyala. Namun, mereka mengejarku. Semakin aku jauh berlari, maka semakin banyak pula yang mengejarku. Sebagian malah membawa benda-benda sejenis pentungan. Pikiranku semakin kacau. Nafasku tersenggal-senggal. Sialnya, kakiku malah tersandung sebuah batu di tengah jalan. Akupun terjerembab ke tanah dengan sempurna.
Puluhan orang yang mengejarku mengelilingiku. Wajah mereka garang. Wanita berpakaian serba biru itu berada di tengah-tengah mereka, sambil menjinjing sepatu highheel biru yang sebelumnya ia kenakan. Ia menatapku dengan jengkel.
“Sudah. Kita pukuli saja ia. Biar kapok!” usul seorang bapak-bapak yang selanjutnya di ikuti dengan anggukan atupun sahutan setuju dari yang lainnya.
Satu pukulan melayang ke wajahku. Di susul tendangan dan tonjokan bertubi-tubi. Namun, aku hanya membiarkan semua itu terjadi. Dengan tenang ku biarkan mereka menyalurkan amarahnya. Percuma, sekeras apapun mereka memukulku, aku tetap tak merasakan apa-apa. Kecuali sentuhan-sentuhan tangan biasa.
Beberapa menit berlalu. Namun, yang awalnya tak kurasakan, kini terjadi. Terasa ada yang mengalir dari kepalaku. Darah. Ya, Tuhan!.
“Stop, jangan teruskan!” teriakku. Namun, mereka tetap tak perduli.
Akupun berdiri mendorong mereka untuk mundur. Pandangan jengkel mereka berubah menjadi heran tatkala melihatku masih baik-baik saja hampir tanpa luka, kecuali satu luka kecil di kepalaku.
Aku mencoba meraba luka itu. Perih. Walaupun hanya luka kecil, tapi cukup deras pula darah yang mengalir dari sana. Ku pandangi tanganku yang berpoles darah. Lalu memandang mereka.
“Ku mohon jangan teruskan,”
“Ah, sudahlah. Ayo kita hajar lagi dia!” sahut salah seorang dari mereka.
Aku hanya menghembuskan nafas panjang, lalu menutup mata. Suara makian dan teriakan mereka semakin keras. Pukulan dan tendangan kembali di layangkan padaku.
Darah di kepalaku semakin banyak. Ya, hanya di kepala. Pada luka kecil itu. Namun semakin lama, semakin ku rasakan darah itu mengalir menuju dagu, leher, menerobos di dalam bajuku, mengalir melewati lengan, lalu menetes melalui jari tengahku.
Aku menenangkan diriku. Mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa tak akan terjadi hal separah yang ku bayangkan. Setetes darah menuju tanah. Aku semakin menutup rapat kedua mataku.
‘tes’, darahku menyambut tanah yang penuh amarah dengan ringan.
Tak lama kemudian terdengar suara gemuruh yang di ikuti teriakan panik dan kesakitan. Suara-suara mengerikan itu terjadi sekitar dua menit. Lalu menghilang sama sekali dengan tiba-tiba.
Aku terdiam. Nafasku memburu. Ku kumpulkan keberanian untuk membuka mata. Perlahan tapi pasti dengan perasaan takut dan waspada yang campur aduk.
Ingin muntah rasanya melihat pemandangan di depanku. Darah di mana-mana. Mayat-mayat bergeletakan di sekitarku dengan kondisi mengerikan yang tak bisa ku gambarkan.
Sebuah wajah anggun mengalihkan perhatianku. Wajahnya utuh. Namun sayang, lengan kirinya putus. Baju birunya hampir berwarna merah pekat di tutupi darah.
Ku ambil rokok di saku belakang celanaku. Lalu ku nyalakan. Rasa mualku perlahan menghilang. Asap-asap tipis yang ku timbulkan membuatku sedikit lebih tenang.
Ku dekati mayat wanita itu. Mengamati wajahnya. Lalu jongkok di sebelahnya, supaya bisa lebih dekat mengamati detail-detail wajahnya.
Ku hisap rokokku perlahan. Menghembuskan asapnya ke udara.
“Dasar bodoh!” umpatku pelan. Kemudian berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Ku injak tas biru pembuat masalah, yang berada tak jauh dari tubuh wanita itu.
***
Ku pandangi sekelilingku. Derit kipas angin yang sebentar lagi pasti jatuh, memecah keheningan. Ku hisap rokokku yang tinggal separo. Lalu membuang sisanya.
Ku hampiri tombol kipas angin di dinding pojok ruang tamu. Lalu ku tekan tombol itu. Kipas angin berputar dan memercikkan api listrik sebentar. Kemudian jatuh dengan cukup keras di lantai.
***
Akhir Juli,
Ruang kelas X-MM2.
Beberapa siswa sedang asyik memainkan jari-jari mereka di atas keyboard laptop. Sebagian juga ada yang sekedar bercakap-cakap.
Andreas terlihat sedang sibuk memotong-motong karet penghapus menjadi bagian-bagian kecil, lalu melemparkan potongan-potongan itu ke beberapa siswa lain di depannya. Sempat terjadi perkelahian kecil di selingi tawa di antara mereka. Maklum, di sini, sebagian besar siswanya adalah laki-laki.
Aku duduk di bangku paling pojok belakang. Sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepala seiring dengan musik yang mengalun dari headsheet yang ku pakai.
Keayikan kelasku terpecah tatkala sebuah suara gebrakan bangku di depan kelas secara tiba-tiba terdengar. Samar-samar kudengar suara umpatan dan makian mengalahkan suara MP3 yang ku dengarkan. Akupun menoleh ke arah suara itu berasal.
Segerombolan siswa yang ku terka adalah siswa kelas dua belas, masuk ke dalam kelasku dengan sengaja membuat keributan yang mencolok.
Fauron, ketua kelasku yang merasa bahwa tingkah mereka mengganggu, memarahi gerombolan itu, dan menyuruh mereka agar tak membuat keributan. Sayangnya, ia malah di dorong salah satu dari mereka dengan keras hingga terjatuh. Ekspresi mereka menandakan tak suka padanya.
Salah seorang dari mereka menunnjukku. Lalu mengaba-aba gerombolannya agar mengikutinya. Merekapun menghampiriku.
Apa gerangan yang membuat mereka kesini?. Aku semakin bertanya-tanya, dan tetap memandang setiap langkah mereka.



‘Brak’ suara gebrakan di mejaku, tak sedikitpun membuatku terkejut.
Dengan santai, ku lepas headsheet yang tadinya ku kenakan. Lalu memandang mereka dengan puluhan tanda tanya.


HARIANTO. Nama yang tertera di seragamnya. Tanpa nama tengah ataupun nama belakang. Ia berdiri paling  depan. Aku langsung bisa menyimpulkan bahwa ialah yang memimpin mereka.
“Apa maksudmu heh?,” tanyanya tanpa basa-basi. Nadanya lebih mirip seorang algojo yang siap menggantung korbannya.
“Apa masalahmu?.” Tanyaku.
“Kau kan yang mengejekku kemarin?.” Aku semakin bingung.
“Tak usah berlagak bingung. Dasar, kau adik kelas kurang ajar!” bentakannya di iringi dengan kepalan tinju yang di layangkan ke wajahku.
Aku terjatuh dari tempat dudukku. Ku dorong kursiku ke depan agar aku bisa berdiri. Sekarang, aku berada tepat di depannya. Memandangnya dengan tatapan tajam
“Aku tak ingin ada keributan di sini!” sahut Fauron dengan nada memperingatkan.
“Dan aku tak ingin membuat masalah.” Jawabku tanpa mengalihkan pandanganku.
“Tapi, aku yang akan membuat masalah.” Sela Harianto sambil sedikit tersenyum kecil. Menghina.
Satu pukulan lagi di layangkan hingga aku terjatuh.  Akupun berdiri dan memukulnya balik.
“Baiklah jika itu yang kau mau!” teriakku padanya.
Kamipun berkelahi hingga hampir semua bangku di kelasku berantakan. Belasan siswa lain hanya menonton. Teman-teman sekelasku hanya tertegun. Dan gerombolan Harianto terlihat semakin menyemangatinya dengan bersorak. Sepertinya, mereka menikmati perkelahian itu.
Pukulan terakhirku ku layangkan ke perutnya. Ia sempoyongan kebelakang, dan jatuh tertunduk dengan tubuh penuh memar. Sedangkan aku masih tetap tenang tanpa luka sedikitpun.
“Kembalilah ke kelasmu!. Aku tak ingin ribut.” Kataku.
Namun, ia tak menyambut saranku dengan cukup baik. Nafasnya semakin memburu. Ketika aku lengah, sebuah tendangan keras di arahkan ke daguku dengan tiba-tiba. Aku terhuyung ke belakang.
Gigiku copot. Dan mulutku penuh darah. Ia berdiri, menghampiriku, lalu memukulku kembali tanpa henti dengan amarah yang menyala-nyala.
Aku menahan agar darahku tak sampai menetes ke lantai kelas. Namun, percuma saja. Saat ia melayangkan pukulan terakhirnya, aku sudah tak bisa menahan darah di mulutku yang semakin banyak. Akupun memuntahkannya.
Suara gemuruh itu datang lagi. Semakin mendekat dan mendekat. Belasan siswa yang berada di kelasku pada saat itu bagaikan sarden yang di kuliti. Darah di sana-sini. Mayat-mayat saling menumpuk. Kecuali satu. Aku tak menemui mayat Fauron. Ku rasa, ia berlari menuju ruang kepala sekolah.
***
Kini, aku menjadi buronan. Polisi, keluarga, sahabat, semua orang mencariku. Aku tak bisa hidup dengan menampakkan diri secara langsung di depan orang-orang. Hingga akhirnya aku menemukan rumah tua ini. Jarang ada yang memiliki cukup nyali untuk datang kesini. Mitos hantu ataupun sejenisnya berkembang dari rumah yang di tinggalkan pemiliknya secara tiba-tiba ini. Mereka pergi tanpa membawa satu barangpun. Tapi, ini menjadi keberuntungan bagiku.



Ku ambil bungkus rokok di sakuku. Lalu ku nyalakan isinya satu. Aku menarik nafas panjang sebelum menghisap rokokku.
Suara sirine memecah keheningan malam yang dingin. Beberapa cahaya lampu mencoba menerobos masuk ke rumahku. Teriakan intruksi dan suara derap kaki terdengar sigap dan tegas.
Aku menghembuskan asap-asap tipis sambil tetap membiarkan keributan itu. Sesekali terdengar suara teriakan perintah, yang memerintahkanku untuk keluar.
Beberapa orang berseragam masuk kedalam ruang tamu yang tak berpintu dan berantakan. Mereka mengarahkan senter kesana kemari untuk lebih membantu mencariku di ruangan yang gelap ini.
Sebuah cahaya senter mengarah padaku yang sedang berdiri dengan tenang di pojok ruangan. Salah satu dari mereka berteriak menandakan bahwa target mereka telah di temukan.
Tak perlu waktu lama, puluhan orang berseragam itu telah mengelilingiku. Namun, aku tetap tenang tanpa panik sedikitpun di tengah-tengan moncong belasan senjata laras panjang yang langsung mengarah padaku.
“Apa kau ingin mengelak?” tanya seorang petugas dengan sedikit nada tinggi.
Aku tak menyahutinya. Ku hisap kembali rokokku. Berusaha menikmatinya senikmat mungkin. Lalu meniupkan asap-asap tipis ke udara.
Ku tutup mataku. Kemudian membentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Dengan rokok masih di tangan kiriku, aku menjadi lebih tenang.
Suara puluhan tembakan ke arahku, memecah kesunyian. Di ikuti dengan suara gemuruh keras yang semakin mendekat. Suara jeritan, tangisan dan ketakutan bercampur aduk memekakan telinga.

Selesai

**Note
First Publish @Radar Mojokerto, 2013
Kalian bisa tinggalkan komen mengenai cerita diatas kunjungi dan follow juga halaman instagram milik penulis disini : mifthaakbie

*Isi sepenuhnya adalah milik dari liwato
*Mohon untuk mencantumkan sumber penulis dari blog ini jika mempublikasikan ulang!
*respect for respected

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top